Ilmu Kalam

KAJIAN 1
PENGERTIAN THEOLOGY  ISLAM

Pengertian Theology dari segi bahasa:
Theology berasal dari kata “Theos”,  artinya Tuhan dan “logos”, berarti ilmu. Jadi Theology berarti  “ilmu tentang Tuhan” atau “ilmu ketuhanan” (A. Hanafi. 11)
Pengertian Teologi dari segi istilah:
Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun berdasarkan penyelidikan akal murni. (A. Hanafi. 12)
Istilah-istilah lain yang digunakan untuk menyebut Teologi Islam;
1.       Ilmu Ushul al-Din
Disebut Ushul al Din karena teologi membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi nama Kitab Usul al- Din.
2.       Ilmu Aqa’id (Credos)
Disebut al-Aqa’id karena teologi membahas tentang keyakinan-keyakinan seseorang kepada Tuhannya
3.       Ilm al-Tauhid
Disebut Ilm al-Tauhid karena membahas tentang ke-Esa-an Tuhan. Karena dalam keyakinan Islam, ke-Esa-an (Monotheisme)  merupakan sifat terpenting di antara segala sifat-sifat Tuhan
4.       Ilmu Kalam
Disebut Ilmu kalam karena membahas tentang sabda atau kata-kata. Jika yang dimaksud kalam adalah sabda, maka yang dibahas dalam teologi  Islam adalah sabda Tuhan atau Al-Qur’an.  Jika yang dimaksud dengan kalam adalah kata-kata manusia, maka teologi Islam membahas tentang silang  pendapat dan pendirian masing-masing teolog. Karenanya teolog dalam Islam disebut dengan mutakallimun yaitu orang yang ahli debat dan pintar memakai kata-kata. (Hanas. ix)
Ilmu Kalam sebagai Ilmu yang berdiri sendiri
Sebutan Ilmu Kalam sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana yang dikenal sekarang, untuk pertama kalinya dipakai pada masa al-Ma’mun (Khalifah Abbasi, wafat 218 H), yaitu setelah tokoh-tokoh Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat dan memadukan metodenya dengan metode ilmu kalam.
Sebelum masa itu, ilmu yang membicarakan persoalan-persoalan kepercayaan disebut “al-Fiqhu. Imam Abu Hanifah menamakan bukunya tentang kepercayaan agama dengan judul “al-Fiqhul Akbar. (Hanafi. 14)
Teologi yang diajarkan di Indonesia
Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam dalam pembahasan dan kurang bersifat filosofis. Pembahasannya sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan yang ada dalam teologi Islam. Lagipula, ilmu tauhid  yang diajarkan di Indonesia pada umumnya beraliran Asy’ariah, sehingga timbullah kesan dikalangan sementara umat Islam Indonesia, bahwa inilah satu-satunya teologi yang ada dalam Islam. (Hanas. x)
Teologi Liberal dan Tradisional
Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada yang bersifat liberal dan ada yang bersifat tradisional. Ada pula yang mempunyai sifat antara liberal dan tradisional. Kedua corak teologi ini, liberal dan tradisional, tidak bertetntangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam. Dengan demikian, orang yang memilih mana saja dari aliran-aliran itu sebagai teologi yang dianutnya, tidak menyebabkan ia menjadi keluar dari Islam. (Hanas. x)
 Tujuan mempelajari teologi Islam
Tujuan teologi Islam ialah memantapkan kepercayaan-kepercayaan agama dengan jalan akal pikiran, menghilangkan bermacam-macam keraguan yang masih kelihatan melekat atau sengaja dilekatkan oleh lawan-lawan kepercayaan-kepercayaan itu. Mengingat tujuan ini, maka teologi Islam bisa desebut “induk ilmu-ilmu agama”.  (Hanafi. 17)
Dengan perkataan lain, tujuan teologi Islam adalah mengangkat kepercayaan seseorang dari lembah taqlid kepada puncak keyakinannya.
Sumber-sumber teologi Islam:
1.       Al-Qur’an dan Hadits-hadits
Sumber utama teologi Islam ialah al-Qur’an dan hadits-hadits yang banyak berisi penjelasan-penjelasan tentang wujud Tuhan, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya dan persoalan teologi lainnya. 
2.       Dalil-dalil akal pikiran yang telah dipersubur dengan filsafat Yunani dan peradaban-peradaban lain. (3) Bahasa Arab, juga merupakan sumber yang tidak kalah penting karena digunakan sebagai alat memahami guna al-Qur’an dan Hadits.
Teologi Islam bukan merupakan ilmu keislaman murni dan bukan timbul dari filsafat Yunani
Teologi Islam bukan merupakan ilmu keislaman murni, seperti ilmu tafsir dan ilmu hadits, karena di antara pembahasan-pembahasannya banyak yang berasal dari luar Islam, sekurang-kurangnya dari segi metode.
 Teologi Islam juga bukan timbul dari filsafat Yunani semata-mata, karena banyak ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang dijadikan dalil, di samping pikiran-pikiran Yunani. Karenanya, yang tepat jika dikatakan bahwa teologi Islam itu merupakan campuran dari ilmu keislaman dan filsafat yunani, meski kepribadian Islam lebih jelas dan lebih kuat. (Hanafi 15)
Perbedaan antara mutakkallimun dan filsof muslim :
Mutakallimun lebih dahulu bertolak dari al-Qur’an dan hadits yang diyakininya, kemudian disertakan pembuktian-pembuktian rasional..
Filsuf berpijak pada logika. Artinya, mereka melakukan sebuah pembuktian secara rasional, kemudian meyakininya. Meskipun demikian, tujuan yang ingin dicapai adalah satu yaitu ke Esaan Allah dan ke-Mahakuasaan Allah SWT. (Hamdani. 3) 
Perbedaan teologi Islam dengan Ilmu Fiqh :
Teologi islam berhubungan dengan soal-soal kepercayaan (aqidah), maka Fiqh berhugungan dengan hukum-hukum perbuatan lahir (ahkam amaliyyah).
Al-Farabi mengatakan bahwa perbedaan kedua ilmu tersebut ialah kalau Teologi Islam menguatkan aqidah dan syari’at yang dijelaskan oleh pembuat agama (Tuhan dan Nabi Muhammad s.a.w), sedang Ilmu Fiqh berusaha mengambil hukum (instibat) sesuatu yang tidak dijelaskan oleh pembuat agama dari sesuatu yang sudah diterankannya dalam lapangan aqidah dan syari’at-syari’atnya.  Dengan kata lain;
Teologi Islam membicarakan soal-soal aqidah, yaitu dasar-dasar agama, sedang Fiqh membicarakan soal-soal furu’, yaitu yang bertalian dengan perbuatan. Sebagai contoh pada Masalah “Tauhid” (mengesakan Tuhan) merupakan salah satu dasar Islam dan dari padanya seorang Fiqh mengambil hukum-hukum ibadat, tanpa memperbincangkan Ketuhanan dan sifat-sifat Tuhan. (Hanafi. 15)
Perbedaan Teologi Islam dengan Tasauf :
Perbedaan antara keduanya meliputi metode dan objek pembicaraan. Jika teologi Islam bercorak mewarnai aqidah-aqidah agama dengan rasio (akal pikiran), bahkan lebih condong untuk mengkontruksikannya di atas dasar akal pikiran.
Tasauf Islam (mystic) bertujuan merasai (mengenyam) aqidah dengan hati nurani, bukan dengan jalan memperbincangkannya menurut metode akal pikiran, bukan pula dengan jalan  memberikan alasan-alasan logika tentang kebenarannya, tetapi bertujuan merasainya, karena cahaya yang menyinari jiwa dari suatu sumber yang terletak di luar akal.
Ulama teologi Islam menganggap bahwa “Ilmu” artinya “Comprehensi” (usaha memahami dengan akal pikiran), karenanya, ilmu tentang Tuhan akan diperoleh dengan jalan penyelidikan akal, meskipun tidak meninggalkan nas-nas agama.
Golongan Tasauf menganggap bahwa ilmu yang yakin (yang pasti benarnya) ialah yang datang dari tekanan batin atau perasaan (taste, intuisi, dzauq dan wujdan) atau menyaksikan langsung dengan mata hati (wahyu, revelation, discovery, kasyf), yang semuanya berlainan sama sekali dengan argumnetasi pikiran. Karena itu, golongan tasauf mengambil ilmunya bukan dari kitab atau guru, tidak pula diperoleh dari pengalaman dan penyelidikan. (Hanafi. 15-16)
 

Perbedaan Teologi Islam dan Filsafat
Seorang teolog Islam berpangkal pada pengakuan akan dasar-dasar keimanan sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, yang kemudian dilanjutkan dengan pembuktian secara rasionil tentang kebenarannya dan menghilangkan keragu-raguan yang terdapat disekelilingnya dengan alasan-alasan logika.
Seorang filosof mempelajari sesuatu persoalan dengan cara yang objektif dan dimulainya dengan keragu-raguan terhadap persoalan tersebut. Setelah dipelajarinya dan dibuktikan  kebenarannya ia keluar dengan pendapatnya. Ia tidak mempunyai sikap prejudice terhadap suatu pikiran sebelumnya.
Perbedaan lainnya;
Teologi bertolak dari wahyu  dan kesadaran akan adanya Tuhan, sedang Filsafat bertolak dari akal pikiran dan kesadaran akan wujud diri sendiri. (Hanafi: 31)
Pertalian Teologi Islam dan Filsafat:
Pertalian antara keduanya Nampak jelas, karena teologi Islam bercorak filsafat yang menunjukkan ada pengaruh pikiran-pikiran dan metode filsafat, sehingga banyak di antara para penulis menggolongkan ilmu teologi islam kepada filsafat. (Hanafi: 29)
Pertalian tersebut diakui oleh para pensejarah kepercayaan Islam. Ibnu Chaldun (wafat 808 H), mengatakan bahwa persoalan-persoalan teologi Islam sudah bercampur dengan persoalan-persoalan filsafat, sehingga sukar dibedakan satu dari yang lainnya. Bahkan, Tenneman dan H. Ritter memasukkan ulama-ulama teolog Islam ke dalam golongan filosof Islam. (Hanafi: 29) 
Rennan sendiri yang terkenal dengan ejekannya terhadap filsafat Islam yang dikatakannya hanya sebagai kutipan yang tandus dari filsafat Yunani, menjelaskan bahwa kegiatan filsafat dalam Islam harus dicari dalam aliran-aliran teologi Islam yang mengandung keaslian dan daya kreasi kaum muslimin. (Hanafi: 29)
Konfilk Antara Teologi Islam dengan Filsafat Islam
Sepanjang sejarahnya, konflik antara seorang theolog Islam dengan filosof selalu ada. Seorang filosof memandang pembicaraan teologi Islam sebagai suatu kemorosotan intelegensia (intellect degeneration) dan seorang yang dogmatis dan sombong. Sebaliknya, seorang teolog memandang filosof sebagai anak kecil yang bermain-main dengan barang yang suci. (Hanafi: 33)
Filsafat Islam berasal dari filsafat Yunani, meskipun dalam beberapa hal mempunyai kepribadian sendiri.
Berapa ulama yang dengan sengitnya menyerang Filsafat:
1.    Ibnu Taimiah
Menurut Ibnu Taimiah (Seorang pembesar Salafi abad 3-4 H): Ilmu yang sebenarnya ialah ilmu   yang diwariskan dari Nabi s.a.w. sedang ilmu-ilmu lainnya adalah ilmu yang tidak berguna atau ilmu dalam namanya saja, sedang hakikatnya tidak ada. (Hanafi : 33)
Perlawanan Ibnu Taimiah terhadap filsafat nampak jelas dalam buku-bukunya antara lain: “ar-Raddu ‘ala ‘aqa’idil –Falasifah”, dan “Nasihatu ahlil iman fir-Raddi ‘ala mantiqil-Yunan”…yang kemudian diringkas dan ditambah oleh
2.    As-Suyuti (1445-1505) dalam bukunya “Shaunul-Mantiq wa kalam fannil-mantiq wal-kalam”. Dalam buku ini, ia mengaharamkan mempelajari logika (Mantiq).
3.    Ibnul-Qayyim (571 H/1292-1350 M), murid Ibnu Taimiah , mengikuti sikap gurunya dalam menentang filsafat. Ia beranggapan bahwa tiap kali logika masuk pada sesuatu ilmu mesti merusaknya, merobah susunannya dan mengacaukan aturan-aturannya. Meskipun demikian, karangan-karangan dan kritik Ibnu Taimiah dan Ibnul Qayyim menunjukkan bahwa kedua orang tersebut mengngenal filsafat dengan baik.
4.    Al-Ibnusallah (1181-1243 M) telah memberikan pukulan yang berat terhadap filsafat. Waktu ia ditanya tentang hukum orang yang mempelajari buku-buku karangan Ibnu Sina, maka jawabannya adalah: “Siapa yang berbuat demikian, berarti telah mengkhianati agamanya dan terkena fitnah yang besar….karena Ibnu Sina bukan seorang ulama, melainkan syetan berupa manusia. (Hanafi: 34)
5.    An-Nubacthy menyerang logika dalam bukunya “Ar-Raddu ‘ala ahlil-Mantiq.
6.    Ibnu Hazm menyerang logika dalam bukunya “al-Fisol”.
7.    Al-Juwaini menyerang logika dalam bukunya “al-Burhan” dan “al-Irsyad”.
8.    Al-Ghazali, tercatat sebagai orang yang terkuat serangannya, yang terkaya bahan-bahannya, yang terampuh senjatanya, tetapi juga yang paling lebar dada dan banyak toleransinya terhadap filsafat. (Hanafi: 33-34). Karyanya yang terkenal adalah: “Tahafutul-Falasifah” dan “al-Munqid min al-Dhalal”

Dari ulama-ulama di atas, ternyata al-Ghazali yang paling sengit serangannya sekaligus paling moderat sikapnya. Karena ia tidak melarang semua bagian-bagian filsafat.
Menurut Al-Ghazali ;
Filsafat meliputi: Matematika, Logika, Phisika, Ketuhanan, Politika, dan Etika. Kedua bagian pertama tidak ada sangkut pautnya dengan agama, karenanya tidak perlu diingkari, demikian juga dengan phisika.
Tentang politika dan etika dikatakannya bahwa kedua cabang ilmu ini diambil oleh para filosof dari kata-kata nabi dan para ahli tasauf. Bidang ketuhanan itulah yang menjadi inti pembahasannya. (Hanafi: 34)

Teologi Islam dan Golongan Yahudi
Pertalian antara golongan Yahudi dengan teologi Islam dapat dilihat dari soal-soal berikut:
1.    Orang-orang Yahudi adalah pendiri yang sebenarnya dari kepercayaan-kepercayaan golongan Syi’ah yang ekstrim, karena banyak tokoh-tokoh Yahudi atau ulamanya yang masuk Islam menggunakan kesempatan penyisihan Ali r.a. dari kursi khalifah untuk mencetuskan soal kesucian Imam (Ali r.a.)
2.    Di antara orang-orang Yahudi yang telah masuk Islam ada yang membuat-buat hadits-hadits palsu tentang tasybih. (berisi persamaan Tuhan dengan manusia). Golongan Musyabbihah (anthropomorphist) Islam yang menggambarkan Tuhan sebagai Zat yang beranggota badan dan mempunyai sifat-sifat seperti manusia, sesuai dengan lahir kata-kata Qur’an dan hadis, muncul karena pengaruh kepercayaan-kepercayaan orang-orang Yahudi. Golongan Hasywiyyah banyak pula mengambil hadits-hadits israiliyat. Hadits-hadits tentang hari kiamat dan tanda-tandanya yang dibuat-buat oleh orang Yahudi besar pengaruhnya terhadap golongan Ahlusunnah.
3.    Persoalan Qadha dan Qadar (predestination) yang menjadi perselisihan di kalangan orang-orang Yahudi, juga dikenal oleh kaum muslimin, sehingga golongan Robbis (rabbaniyyin) sama dengan golongan Mu’tazilah. Sementara  golongan textualist (qurro’) Yahudi sama dengan golongan Jabbariyah Islam. (Hanafi: 36)
Demikianlah persoalan-persoalan yang sama antara orang-orang Yahudi dan segolongan kaum muslimin. Akan tetapi, persamaan tersebut bukan berarti bahwa segolongan kaum muslimin tersebut telah mengambil persoalan-persoalan itu dari golongan Yahudi semata-mata, karena agama-agama lain juga sebelumnya telah mengenal tasybih, seperti agama Brahma, Budha, Zoroaster, agama Ham dan Mesir Kuno.
Persoalan qadha dan qadar juga bukan milik orang-orang agama Yahudi, sebab persoalan itu terdapat pula dalam Islam, sebagaimana yang diinformasikan oleh Qur’an dan hadits-hadits Nabi.
Persoalan kesucian, raj’ah dan Ketuhanan Ali r.a. dan keturunan-keturunannya boleh jadi berasal dari pengikut Syi’ah ekstrim sendiri.  
Kritik terhadap Teologi Islam
Kritik terhadap teologi Islam muncul karena persentuhan kaum muslimin dengan filsafat Yunani. Mereka khawatir jika ilmu Tauhid bercampur dengan filsafat, sehingga membahayakan ‘aqidah Islamiah. Karena itu ulama-ulama Islam banyak yang membenci teologi Islam dan memperingatkan agar jangan mendekatinya. Akan teteapi di antara mereka ada yang sikapnya berlebih-lebihan sehingga terkenallah semboyan mereka yang berbunyi: “Larilah dari Ilmu Kalam (Teologi Islam), seperti engkau lari dari singa”. Berikut pernyataan-pernyataan mereka:
1.    Imam Syafi’i
“Keputusanku terhadap orang-orang teologi Islam ialah mereka harus didera dengan cemeti serta merta dan harus diarak keliling desa dan tempat-tempat ramai, sambil diserukan: inilah akibat orang yang mengenyampingkan ilmu Qur’an dan Sunnah dan bertekun mempelajari teologi Islam.

2.    Imam Ahmad Ibn Hanbal (780-865 M), sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu al-Jauzi mengatakan: “Ahli Ilmu Kalam tidak bahagia selamanya. Ulama Kalam adalah orang-orang Zindiq.
3.    Al-Ghazali
Qiyas-qiyas (Silogisme-analogi) mereka mengeruhkan ketenangan rasa agama, mengacaukan pikiran dan menggoncankan iman orang awam. Dalam kitabnya yang lain, al-Ghazali melarang memberikan pertimbangan-pertimbangan pikiran (annadzar al-‘aqli) dalam soal-soal agama. Karena penakwilan orang awam terhadap ayat-ayat Qur’an, laksana orang yang tidak tahu berenang mengarungi samudra luas. (yang dimaksud dengan orang awam disini adalah ahli hadits, ahli Tafsir, orang Fiqh, ahli Nahwu, dan ulama Teologi Islam).
Seorang mukmin yang sebenarnya tidak boleh tunduk kepada akal pikiran, karena akal pikiran tidak diperlukan untuk kebenaran-kebenaran agama yang sudah termuat dalam Qur’an dan Hadits. Jadi, tidak ada perbedaan antara Teologi Islam dan filsafat Aristoteles, karena kedua-duanya membawa seseorang menjadi atheist dan zindiq.

4.    Thasy Kubra Zadah (wafat 962 H) memberikan pendapat;
Banyak fuqoha pada masanya sangat mencela orang-orang yang mempelajari Teologi Islam. Menurutnya, seharusnya dibedakan antara teologi Islam yang kemasukan filsafat yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Hadits, dan teologi Islam yang persoalan-persoalannya bersumber kepada Qur’an dan Hadits. Teologi macam pertama saja yang harus dicela dan ditentang, bukan teologi macama kedua. (Hanafi: 45)

KAJIAN 2
CORAK PERBEDAAN PENDAPAT DI KALANGAN KAUM MUSLIMIN

Meskipun kaum muslimin mengenal aneka aliran dan perbedaan pendapat dalam lapangan politik, kepercayaan, hukum (fiqh), namun perbedaan tersebut tidak mengenai inti agama Islam, di antaranya;
1.       Keesaan Tuhan
2.       Kedudukan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai Rasul Allah
3.       Kedudukan Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan Allah kepada kepada nabi Muhammad, termasuk kemukzizatan Al-Qur’an
4.       Rukun-rukun Islam, yaitu shalat 5 waktu, puasa, zakat, dan haji ataupun kaifiyat pelaksanaanya
5.       Hal-hal yang dibawa oleh agama dengan pasti dan jelas, seperti haram makan babi, bangkai, minum minuma keras, dan sebagainya.

Perselisihan yang terjadi hanya mengenai soal-soal kecil, baik menyangkut politik maupun gejala-gejala kemanusiaan umunya, diantaranya;
1.       Fanatik kesukuan dan ke-Araban
2.       Perebutan khilafat
3.       Kaum muslimin hidup berdampingan dengan pemeluk-pemeluk agama lain
4.       Penterjemahan buku-buku filsafat
5.       Ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an
6.       Jurisprudensi dalam hukum Islam.
Karena sebab-sebab di atas, maka kaum muslimin mengenal aliran-aliran dalam tiga macam;
a.       Lapangan Politik
b.      Lapangan Teologi Islam
c.       Lapangan Hukum Islam
Dalam lapangan politik kita mengenal golongan-golongan Syi’ah, Khawarij, Jumhur umat, dsb.
Dalam lapangan hokum Islam kita mengenal aliran-aliran (Mazhab) Hanafi, Maliki, Syafi’I,  Hambali, Zahiri, Syi’ah, dsb.
Dalam lapangan teologi Islam, kita mengenal aliran-aliran yang akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya nanti.

Dasar-dasar Penggolongan dalam Teologi Islam
Menurut as-Syihristani, penggolongan itu didasarkan pada empat persoalan pokok;
1.       Sifat-sifat Tuhan dan peng-Esaan sifat, menimbulkan aliran Asy’ariyah, Karramiah, Mujassimah, dan Mu’tazilah
2.       Qadar dan keadilan Tuhan, perselisihan ini menimbulkan golongan, Qadariah, Nijariah, Jabariah, Asy’ariah dan Karramiah
3.       Janji dan ancaman (al-wa’du wal wa’id), perselisihan ini menimbulkan aliran Murji’ah, Wa’idiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Karramiah
4.       Sama’ dan akal (maksudnya: apakah kebaikan dan keburukan hanya diterima dari syara’ atau dapat ditemukan oleh akal pikiran). Persoalan ini menimbulkan aliran Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Karramiah dan Asy’ariah. (Hanafi: 58)

Karena lairan-aliran tersebut di atas mempunyai kemiripan satu dengan yang lainnya, maka as-Syihristani meringkasnya menjadi :
Empat aliran pokok, yaitu:
1.       Qadariah
2.       Sifatiah
3.       Khawarij
4.       Syi’ah

Dari masing-masing aliran pokok ini timbul pula aliran-aliran lain, sehingga jumlahnya menjadi 73 golongan, sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi;

“Sataftariqu ummati ‘ala tsalatsin wa sab’ina friqotan, annajiyatu minhum wahidatun, wal baquna halka. Qila wa man najiyatu? Qola: Ahlus sunnati wal jama’ati. Qila: wa ma as-Sunnatu wal jama’atu? Qola: ma ana ‘alaihi al yauma wa ashabi.” 

Beberapa persoalan timbul sekitar hadits itu:
1.    Sungguhpun hadits itu dijadikan sandaran oleh penulis-penulis yang membicarakan golongan-golongan dalam Islam, namun hadits tersebut tidak diriwiyatkan dalam shahih Bukhori atau Muslim, melainkan diriwayatkan oleh Abudaud. At-Tarmizi, al-Hakim dan Ibnu Hibban, dimana kesemua mereka memandang hadits ini sahih. Sahabat yang meriwayatkannya ialah Abuhurairah, dan menurut riwayat lain, sahabat Anas.
2.    Isi hadits itu berbeda-beda, menurut perbedaan riwayatnya. Ada yang berbunyi:
“Kulluhum fin nari illa wahidah” (Semuanya berada di neraka, kecuali satu). Riwayat lain berbunyi:
“Kulluhum fil jannati illa wahidah” (Semuanya berada di sorga, kecuali satu). Riwayat lain berbunyi:
“Tsaniati wa sab’una fin nari wa wahidatun fil jannati” (72 golongan berada di neraka, dan satu di sorga).
3.    Siapakah yang dimaksud dengan kata-kata “Ummatku?”, apakah umat ijabah, yaitu kaum muslimin yang benar-benar telah memenuhi ajakan Nabi Muhammad s.a.w., ataukah umat da’wah, yakni seluruh umat manusia yang kedatangan seruan Islam?
4.    Apakah bilangan 73 itu sekedar menunjukkan jumlah golongan, ataukah yang dimaksud itu golongan-golongan pokok saja, dengan tidak meliputi cabang-cabangnya, yang oleh karena itu masih bisa bertambah sekalipun tidak bisa kurang.
5.    Siapakah yang dimaksud dengan golongan yang selamat?, apakah golongan ahlusunnah wal jama’ah. Ataukah golongan yang telah lewat atau baru akan datang kemudian?...

Kriteria Penggolongan:
AS-Syihristani tidak memisah-misahkan antara golongan-golongan politik dalam Islam dan aliran-aliran Teologi Islam. Kedua macam golongan ini disatukan menjadi golongan-golongan Islam.
Yang dimaksud dengan golongan politik ialah golongan/aliran yang berdiri karena soal-soal politik atau kepemimpinan kaum muslimin (sekitar khilafat dan imamah), seperti golongan Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur yang merupakan mayoritas kaum muslimin pada waktu itu (Umawi).
Aliran-aliran Teologi Islam adalah aliran yang motif berdirinya karena soal-soal kepercayaan semata-mata, dan tidak ada kaitannya dengan soal-soal politik.

Motif Golongan Syi’ah berdiri karena mereka tidak puas dengan keadaan pada waktu itu, di mana khilafat tidak dipegang oleh Ali r.a. dan mereka menuntut agar khilafat tersebut dipegang oleh keturunan-keturunannya.
Sebaiknya golongan Khawarij menginginkan agar khilafat dipegang oleh orang yang cakap dan saleh, tanpa dibataskan kepada golongan atau keturunan tertentu.
Menurut golongan Jumhur, khilafat harus dipegang oleh orang keturunan Quraisy.
Pemasukan golongan Syi’ah dan Khawarij menjadi golongan politik dikuatkan oleh Abu Zahrah. (Hanafi: 61)
Disamping golongan politik dan golongan Teologi Islam, ada juga golongan Fiqh, sebagaimana terdapat dalam golongan Syia’h terdapat aliran fiqh Ja’fariah dengan tokohnya Imam Ja’far as-Sadiq, dan aliran fiqh Zaidiah dengan tokohnya Zaid bin Ali Zainal Abidin.
Di kalangan Khawarij terdapat aliran fiqh Ibadiah yang merupakan fiqh yang baik dan sering-sering mendekati mazhab fiqh Sunni. (Hanafi: 62).

Adapun golongan-golongan yang masuk dalam lairan-lairan teologi Islam sebagai berikut:
1.    Aliran Mu’tazilah
2.    Aliran Asy’ariah
3.    Aliran Maturidiah
4.    Aliran Salaf
5.    Aliran Wahabiah
6.    Syekh M. Abduh
7.    Ibnu Rusyd
Syekh Abu Zahrah memasukan aliran Jabariah, Qadariah dan Murji’ah dalam golongan Teologi Islam (al-mazahibul-Islami), akan tetapi sebagian ahli mengatakan, lebih tepat kalau dikatakan bahwa ketiga aliran tersebut bukan aliran teologi Islam, dengan alasan bahwa:
1.    Aliran Murji’ah tidak merupakan satu golongan politik, bukan pula aliran teologi Islam. Ia lebih tepat kalau dikatakan suatu kecenderungan (naz’ah), yaitu kecenderungan untuk mencari keselamatan, dengan tidak usah terseret dalam urusan-urusan partai politik, baik sebagai penyokong maupun sebagai penentangnya. Semua kesusah-payahan hendak dijauhinya, baik yang bersifat ilmu dan teori maupun yang bersifat perbuatan dan tindakan phisik.
2.    Golongan Jabariah (Jahmiah) dan Qadariah lebih tepat kalau dikatakan sebagai suatu penyelewengan pikiran dan cara berpikir, karenanya kedua aliran tersebut tidak memiliki pengikut-pengikut setia, dan umurnya tidak lebih daripada umur Jahm bin Sawan atau Ma’bad dan Ghailan itu sendiri. (Hanafi” 63).

Motif berdirinya Aliran-aliran:

a.    Golongan Syi’ah berdiri karena mereka tidak puas dengan keadaan pada waktu itu, di mana khilafat tidak dipegang oleh Ali r.a. dan mereka menuntut agar khilafat tersebut dipegang oleh keturunan-keturunannya.
b.   Sebaiknya golongan Khawarij menginginkan agar khilafat dipegang oleh orang yang cakap dan saleh, tanpa dibataskan kepada golongan atau keturunan tertentu.
c.    Menurut golongan Jumhur, khilafat harus dipegang oleh orang keturunan Quraisy.
Pemasukan golongan Syi’ah dan Khawarij menjadi golongan politik dikuatkan oleh Abu Zahrah. (Hanafi: 61)
d.   Aliran Mu’tazilah berdiri karena keinginan hendak menjelaskan dan mempertahankan kebenaran-kebenaran kepercayaan-kepercayaan Islam terhadap serangan-serangan lawannya dan usaha-usaha pemburukan mereka di bidang kepercayaan.
e.   Aliran Asy’ariah timbul karena tidak puas dengan konsepsi aliran Mu’tazilah dalam menafsirkan dan memehami kepercayaan-kepercayaan dalam Islam. 

KAJIAN 3
PERPECAHAN UMAT ISLAM PASCA WAFATNYA RASULULLAH SAW
a. Masa Kesatuan Paham / Aqidah
Nabi Muhammad s.a.w. hadir di tengah-tengah masyarakat, melenyapkan segala kebingungan dan menjadi pelita dalam kegelapan syubhat. Dua orang khalifah sesudah beliau, berjuang sepanjang hidupnya melawan musuh-musuh Islam, sehingga tidak ada sedikit pun peluang bagi orang banyak untuk memperdayakan dan mengutak-atik dasar kepercayaan (aqidah) yang telah berkembang dengan baik. Setiap persoalan yang timbul selalu diselesaikan di hadapan khalifah secara tuntas.
Keadaan seperti itu berjalan dengan baik hingga terjadinya peristiwa yang pembunuhan khalifah yang ketiga (Utsman bin Affan). Sejak terjadinya peristiwa itu, maka rusak binasalah sokoguru (tiang agung) khalifah. Terjerumuslah Islam dan pengikut-pengikutnya ke dalam suatu perbenturan, yang menyimpangkan mereka dari jalan lurus. Karena sesungguhnya khalifah Utsman terbunuh dengan cara yang tidak sesuai sama sekali dengan hukum syara’.

1. Kegiatan Abdullah bin Saba’, Permulaan timbulnya Bid’ah tentang Aqidah
Di antara orang-orang yang giat melancarkan fitnah di sana-sini adalah Abdullah bin Saba’. Seorang Yahudi yang baru masuk Islam. Dengan berpura-pura terlalu fanatic mencintai Ali r.a. ia mendakwahkan bahwa Allah telah bertempat pada diri Ali r.a. Ia mendakwahkan pula, bahwa Ali -lah yang berhak menjadi khalifah. Untuk itu, ia menyerang khalfiah Utsman dengan sengitnya. Kemudian ia pergi ke Basrah dan meniupkan fitnah yang sama. Lalu khalifah Utsman mengusirnya dari Basrah, maka ia pergi ke Kufah dan kembali melancarkan fitnahnya. Lalu ia pergi ke Syam (Syiria), tetapi di sini ia tidak dapat menyebarluaskan fitnahnya, lalu Ia ke Mesir, di mana ia mendapatkan pengikut dan leluasa menyebarkan fitnahnya dan menumbuhkan benih permusuhan dan persengketaan di dunia Islam.
(Lahirnya Golongan Syi’ah dan Khawarij (Dijelaskan kepada siswa dalam bentuk kajian sejarah dari Masa Nabi s.a.w. hingga system Khilafah al-Rasyidah)

KAJIAN 4
FIRQOH-FIRQOH DALAM ILMU KALAM

Sebelumnya, akan dijelaskan terlebih dahulu perbedaan pengertian firqoh dan mazhab:
-Firqoh ialah perbedaan pendapat dalam soal-soal aqidah (teologi) atau masalah-masalah ushuliyah. Dalam Islam dikenal firqoh Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Ahlu Sunnah. Dalam Kristen dikenal Katolik dan Protestan. Firqoh bisa diartikan sekte. Dalam pembahasan ini firqoh bisa disebut dengan istilah bermacam-macam. Terkadang disebut golongan atau aliran.
-Mazhab ialah perbedaan pendapat masalah-masalah hokum atau furu’iyah. Dalam fiqh, diketahui ada empat mazhab;
1.  Mazhab Hanafi (Pendirinya Imam Hanafi An-Nu’man Ibn Tsabit, 70-150 H)
2. Mazhab Maliki (Pendirinya Imam Malik Ibn Anas, 90-179 H)
3. Mazhab Syafi’I (Pendirinya Abu Abdullah Muhammad Ibn Idris Ibn Utsman Ibn Syafi’I, 150-204 H)
4. Imam Hambali (Pendirinya Ahmad Ibn HAmbal Ibn Hilal Asy-Syaibani Al-Bagdadi, 164-241 H).
Dengan demikian, firqoh itu mengenai masalah tauhid, sedangkan mazhab mengenai masalah fiqh. (Sahilun: 71)
A.      FIRQOH SYI’AH
1.       Sejarah Timbulnya
Syi’ah berasal dari bahasa Arab, artinya pengikut atau golongan. Kata jamaknya adalah Syiya’un. Kata Syi’ah ditemukan dalam surat al-An’am: 159. (checking ayatnya)
Dari ayat tersebut Syi’ah dimaksudkan sebagai suatu golongan dalam Islam yang beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. Adalah orang yang berhak sebagai Khalifah pengganti Nabi, berdasarkan wasiatnya. Sedangkan 3 khalifah sebelumnya adalah sebagai penggosob (perampas) kedudukan khalifah. (Dijelaskan secara historis agar masalah khalifah dalam Islam tidak menimbulkan fitnah di belakang hari)
Golongan Syi’ah ini terpadu padanya pengertian firqoh dan mazhab. Sebab mereka beranggapan bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan anak keturunannya lebih berhak menjadi khalifah daripada orang lain, berdasarkan wasiat Nabi. Masalah khalifah ini adalah masalah politik yang dalam perkembangan selanjutnya mewarnai mereka di bidang agama. (Bisa dilihat perkembangan Syi’ah selanjutnya, dalam bidang fiqh dikenal dengan fiqh Ja’fariyah / Imam Ja’far as-Sodiq).
Syi’ah mempunyai ulama-ulama sendiri yang menjadi panutan di berbagai cabang ilmu ke-Islaman. Ulama Kalam yang paling masyhur ialah Hisyam bin Hakam dan Syaikhon Thaq Muhammad Nu’man al-Ahwal. Keduanya murid Imam Ja’far as-Sodiq.
Di samping itu, banyak ulama-ulama Syi’ah yang mempunyai peranan penting di bidang tasauf. Khalifah Ali ra. Dan keluarganya dianggap mempunyai pengetahuan yang bertingkat tinggi. Abu  Nasras Sarraj dalam karyanya al-Luma’ mengenai filsafat tasauf sambil mengutip pendapat Junaid berkata, sekiranya Ali ra. Tidak terlibat dalam sekian banyak peperangan, tentulah dia telah memberikan kepada dunia Ilmu Laduni yang amat luas.
Di dalam kitab Tadzkirot al Auliya’ karangan Farid al-Din ‘Attar, tempat pertama dalam daftar orang- orang suci mistik diberikan kepada Ja’far as-Sodiq yaitu imam Apostolis yang keenam. Patut diingat bahwa hampir setiap orang suci garis silsilah rohaniah (sanad thariqat) dikembalikan kepada Ali ra. (misalnya Thariqat Qadriyah), dan melalui dia kepada Nabi. Hanya sedikit orang yang mengembalikan sanad tarekat kepada Abu Bakar (misalnya Tariqat Naqsabandiyah)
Kitab-kitab karangan ulama-ulama Syi’ah, ternyata ada juga yang menjadi literature ulama-ulama Sunni, misalnya karangan Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani (Imam asy-Syaukani, w. 1255 H) Kitab Nailul Authar dan Irsyad al-Fuhul). Demikian pula peranan ulama-ulama Syi’ah di bidang Tasauf. Banyak orang-orang Sunni berguru kepada ulama-ulama Syi’ah, misalnya kepada Imam as-Sodiq, imam Syi’ah yang keenam.
B.      Masalah Khilafah (Dijelaskan secara ringkas sbb) :
1.       Nabi Muhammad s.a.w. melaksanakan risalahnya selama hampir 23 tahun. Beliau wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 Hijriah, bertetpatan dengan 8 Juni 632 M.
2.       Selama hidupnya, beliau tidak pernah berwasiat tentang kepemimpinan pengganti beliau
3.       Nabi pernah menyuruh Abu Bakar menjadi Imam Shalat pada waktu beliau sakit menjelang hari wafatnya. (Apakah ini sinyal bahwa Abu Bakar kelak sebagai pengganti Nabi)???
4.       Sementara Ali ra. pernah disuruh Nabi s.a.w. menjaga rumahnya ketika beliau pergi berperang. (Apakah ini juga sinyal kepemimpinan yang dikehendaki Nabi)???
5.       Bagaimana dengan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan?, apakah mereka juga layak jadi pemimpin pengganti Nabi kelak?...
6.       Setelah Nabi s.a.w. wafat, terjadi perdebatan sengit siapa yang seharusnya memimpin. Mereka (pemuka kaum Anshor dan Muhajirin berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah, suatu balai pertemuan utnut bermusyawarah tentang Khalifah pengganti tanpa dihadiri oleh Ali ra.
7.       Golongan Anshor (masyarakat tempatan) menghendaki Sa’ad bin Ubadah sebagai khalifah pengganti Rasul, tetapi ditolak oleh kaum Muhajirin
8.       Golongan Muhajirin (pendatang) menghendaki Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah pengganti Rasul.
9.       Pada saat perdebatan tentang pengganti nabi, muncullah Umar bin Khattab membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Bai’at itu kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat yang hadir secara aklamasi. Adapun Ali bin Abi Thalib ra. tidak ikut membai’at pada saat itu, karena ia sibuk mengurusi jenazah Nabi s.a.w.
10.   Benarkah sikap Ali ra. dan setujukah ia tentang pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama dalam Islam???
11.   Memang  Sayyidina Ali ra. dan istrinya Fatimah az-Zahra binti Rasulullah s.a.w. sedikit kurang enak terhadap musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah. Karena menurut pendapatnya, pengurusan jenazah Nabi (pemakaman) harus didahulukan daripada musyawarah pemilihan khalifah. Sedangkan sahabat-sahabat lain berpendapat bahwa pemilihan khalifah harus didahulukan, karena menyangkut kepentingan umum (jika tidak Negara akan chaos). Akhirnya, terpilih lah Abu Bakar sebagai Khalifah pertama dalam Islam, diikuti oleh khalifah-kalifah sesudahnya secara bergantian, sekaligus meletakkan dasar system Khilafah al-Rasyidah dalam Islam. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau menjalankan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan. (Badri Yatim: 35)

Sebelum jauh mengkaji tentang sejarah munculnya firqoh-firqoh dalam Islam, terlebih dahulu dikupas biografi ringkas empat orang khlaifah pengganti Nabi s.a.w.

1.       Masa kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq
Abu Bakar as-Shiddiq memerintah selama 2 tahun 3 bulan 10 hari (11-13 H/632-634 M). Dia meninggal pada 13 Hijirah. Masa yang sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau lagi  tunduk kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad, dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn al-Walid adalah jendral yang banya berjasa dalam peang Riddah ini. Masa kepemimpinan Abu Bakar yang singkat itu habis digunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri, sehingga misi perluasan Islam keluar Arabia  agak terbengkalai, meski ia sempat mengirim Khalid bin Walid ke Irak dan ke Syiria di bawah empat jenderal, yaitu Abu Ubaidah, Amr bin ‘Ash, Yazid ibn Abi Sufyan, dan Syurahbil.   
Ketika Abu Bakar sakit-sakitan dan merasa ajalnya sudah dekat, ia mengusulkan Sayyidina Umar bin Khattab sebagai calon khalifah ke dua. Usul tersebut distujui sahabat, termasuk sayyidina Ali. (Sahilun: 76)

2.       Masa kepemimpinan Umar bin Khattab
Sayyidina Umar bin Khattab berkuasa selama 10 tahun 6 bulan (13-23 H/634-644 M). Dia meniggal pada 16 Dzul Qa’dah dibunuh oleh Abu Lu’lu’, seorang sahaya dari Persia, yang amat dendam melihat kerajaan Persia ditaklukkan (16 H/636 M). (Sahilun: 77)
Di Zaman Umar, gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi (dikenal dengan Futhat 1). Wilayah kekuasaan Islam berkembang cepat meliputi  Syiria  (Damaskus), ekspansi ke Mesir di bawah pimpinan ‘Amr bin ‘Ash, dank e Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash. Pada masa Umar, wilayah kekuasaan islam sudah meliputi; Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Palestina dan Mesir.
Untuk menertibkan wilayah kekuasaan yang meluas dengan cepat, Umar mengeluarkan beberapa kebijakan strategis, diantaranya;
-          Mengatur administrasi Negara dengan mencontoh administrasi yang berlangsung terutama di Persia
-          Adminsitrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi, Mekah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir
-          Mendirikan beberapa departemen (keuangan, dll)
-          Mengatur dan menertibkan system pembayaran gaji dan pajak tanah
-          Memisahkan lembaga Yudikatif dan eksekutif
-          Membentuk jawatan kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban, dan jawatan Pekerjaan Umum
-          Mendirikan Bait al Mal
-          Menempa mata uang
-          Menciptakan Tahun Hijriah
-          Memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (komandan orang-orang beriman) (Badri Yatim: 38)
Sebelum wafat, ia telah menunjuk panitia untuk  memilih khalifah penggantinya, terdiri dari; Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdullah bin Umar. Sayyidina Umar berpesan agar panitia ini nanti memilih khalifah dan jangan memilih Abdullah bin Umar putranya sendiri.  Panitia akhirnya memilih Sayyidina Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga (Sahilun : 77)
3.       Masa kepemimpinan Utsman bi Affan
Sayyidina Utsman bin Affan memerintah selama 13 tahun kurang sehari (23-35 H/644-656 M). Pada paroh terakhir masa kekhilfaannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa dikalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinannya sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umurnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut.
Salah satu factor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijakannya yang mengangkat keluarga dalam keudukan tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah yang pada dasarnya menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Utsman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadp keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan Negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa kontrol oleh Ustman sendiri.  Meski demikian, jasa-jasa Utsman dapat dicermati sebagai berikut;
-          Membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota
-          Membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan dan masjid-masjid
-          Memperluas masjid Nabi di Madinah
Akhirnya, pada tahun 35 H/655 M, Utsman di bunuh oleh kaum pemborontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa dan terkena hasutan Abdullah bin Saba’. Setelah Utsman wafat, masyarakat    beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.'
4.       Masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
Sayyidina Ali bin Abi Thalib memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil.  (BADRI Yatim (38)



Catatan Pinggir
Teologi Islam sebenarnya lebih dahulu muncul daripada filosof-filosof Islam. Filsof Islam yang pertama di kenal ialah al-Kindi (wafat 950 M/260 H). sedang puluhan tahun sebelumnya terdapat Washil bin ‘Ata (699 M/82 H), ‘Amr bin Ubaid, Abdul Huzail al-Allaf dan an-Nazham, yang kesemuanya telah membicarakan persoalan-persoalan teologi Islam dan meletakkan dasar-dasarnya. Sebelum itu terdapat Hasan al-Basri dan Ghailan al-Dimasyqi, pada masa Umawy. (Hanafi: 30).
Menurut Von Kremer (1828-1889), golongan Mu’tazilah timbul karena adanya orang-orang Masehi, karena pembesar-pembesar gereja pada waktu itu membicarakan tentang kebebasan kemauan (hurriyah al-irodah-Free will). (Hanafi: 39)
        
PERBANDINGAN ALIRAN-ALIRAN KALAM
           1.  SYI'AH

A.      TOKOH PENDIRI:
ALI BIN ABI THALIB
HASAN
HUSAIN
ZAINAL ABIDIN
AL BAIR
JA’FAR AS-SIDIQI*
ABDUL HASAN MUSA
ABU HASAN ALI
ABDUL JA’FAR MUHAMMAD
AN-NAQI
ABDUL MUAHMMAD AL-HASAN BIN ALI ALASKARI  
MUHAMMAD AL-MAHDI

POKOK-POKOK PEMIKIRAN
B.      SIFAT TUHAN: Menganut faham wahdatul wujud (serba tuhan)


C.      KEPEMIMPINAN : Imam adalah masalah sentral dan termasuk rukun iman dan mereka mempercayai 12 imam

D.      PELAKU DOSA BESAR: Orang-orang yang membenci Ali (ahlul bait) adalah kafir
             (*) FIQIH SYIAH)


         2.  KHAWARIJ
A.      TOKOH PENDIRI:
                                                 ABDULLAH BIN WAHAB AR-RASIDI

POKOK-POKOK PEMIKIRAN

B.      SIFAT TUHAN: Hanya Allah yang menetapkan hukum, tanpa terkecuali

C.      KEPEMIMPINAN : Pemimpin berasal dari golongan manasaja yang  penting orang yang terbaik dan cakap memimpin.

D.      PELAKU DOSA BESAR : Orang islam yang berdosa besar adalah kafir (pelaku dosa besar menurut khawarij adalah orang yang tidak  bertahkim pada Al-qur’an), dan harus dibunuh, sebagimana tahkim Ali dan Mu’awiyyah.


3.  MURJI'AH

A.      TOKOH PENDIRI :
                Moderat    :
AL HASAN BIN MUHAMMAD IBNU ALI   BIN ABI THALIB
ABU HANIFAH
ABU YUSUF
                Extrim       :
JAHAM BIN SOFWAN

POKOK-POKOK PEMIKIRAN

B.      PELAKU DOSA BESAR : Orang islam yang berbuat dosa besar tidak dihukumkan kafir, melainkan tetap mukmin selama masih bersyahadat.


4.  JABARIAH

A.      Dalil-dalil
Q.S. Al-an’am (111)
Q.S. As-saffat (96)
Q.S. Al- insan (30)


B.      TOKOH PENDIRI :            
                Moderat    : ALHASAN BIN MUHAMMAD AN-NAJJAR
                                   DIRAR BIN AMR
               Extrim       :   JA’FAR BIN DIRHAM
           JAHAM BIN SOFWAN

POKOK-POKOK PEMIKIRAN

C.      PERBUATAN TUHAN : Segala perbuatan manusia diciptakan tuhan termasuk perbuatan baik dan buruknya manusia.

D.      PERBUATAN MANUSIA :
                     Moderat     : Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia baik dan buruk,  
                                         tetapi manusia  memiliki kasb dalam perbuatannya.
                    Extrim       : Perbuatan manusia semata-mata perbuatan tuhan.
E.       PELAKU DOSA BESAR : Perbuatan dosa tetap mendapat siksa, dan perbuatan baik tetap mandapatkan pahala, meskipun kedua perbuatan tersebut adalah perbuatan tuhan.


5.  QADARIYAH

A.      Dalil-Dalil
Q.S. Ar-ra’du (11)
Q.S. Al-Kahfi (29)
B.      TOKOH PENDIRI :
                                                MA’BAD AL-JUHANI
            GHAILAN AL-DIMASQY

POKOK-POKOK PEMIKIRAN

C.      SIFAT TUHAN : Tuhan tidak memiliki Asma’ul Husna dan Allah itu Esa, Allah melihat dengan dzat-Nya.

D.      PERBUATAN TUHAN : Perbuatan baik dan buruk adalah ikhtiar manusia.


E.       PERBUATAN MANUSIA : Perbuatan manusia semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
F.       PELAKU DOSA BESAR : Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, atau pun mukmin, tetapi fasik, dan kekal di Neraka.


6.  MU’TAZILAH

A.      TOKOH PENDIRI :
WASHIL BIN ATHO’
AL-ALAF
AL-HAYAT
AL-JUBBAI *
AN-NAZZHAM
BISIR BIN AL-MU’TAIMIR
AL-QODHI ABDUL JABBAR
AZ-ZAMAHSYARI **
AL-JAHIZ
ABU MUSA AL MUDROR

POKOK-POKOK PEMIKIRAN

B.      SIFAT TUHAN : Tuhan tidak memiliki sifat, karena dengan memberi sifat bagi Allah, maka Ia akan terbatas, dan sama dengan mahluk-Nya.

C.      PERBUATAN TUHAN : Tuhan maha sempurna, dan tak mungkin menciptakan perbuatan buruk manusia.

D.      PERBUATAN MANUSIA : Perbuatan manusia semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.

E.       AL-QUR’AN : Al-qur’an adalah mahluk daan baharu.


F.       PELAKU DOSA BESAR : Orang yang berdosa besar bukanlah mukmin, dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya (msnzilah bainal manzilatain).

                    (*) GURU IMAM AL-ASYARI
                    (**)  PENGARANG TAFSIR AL-KASYSYAF



7.  ASY'ARIYAH

A.      TOKOH PENDIRI :
ABU AL-HASAN ALI BIN ISMAIL AL-ASY’ARI *

POKOK-POKOK PEMIKIRAN

B.      SIFAT TUHAN : Tuhan memiliki sifat-sifat tertentu, dan mengetahui dengan ilmu-Nya, bukan dengan dzat-Nya, dan berkuasa dengan qudrat-Nya, bukan dengan dzat-Nya.



C.      PERBUATAN TUHAN : Tuhan menciptakan perbuatan, adapun baik buruknya perbuatan adalah ikhtiar manusia itu sendiri (Al-Kasb).


D.      PERBUATAN MANUSIA : Perbuatan manusia semata-mata ciptaan tuhan.

E.       AL-QUR’AN : Al-qur’an adalah kalamullah yang qodim.

F.       KEPEMIMPINAN: Masalah imamah adalah masalah kedunian yang penanganan dan pembentukannya diserahkan pada umat



G.     PELAKU DOSA BESAR : Muslim yang berdosa dan tidak sempat bertaubat diakhir masa hidupnya tidaklah kafir, dan tetap muslim.
                       (*) CUCU ABU MUSA AL-ASY’ARI


8.  MATURIDIYAH

A.      TOKOH PENDIRI :
Samarkand          :   ABU MANSUR MUHAMMAD BIN MUHAMMAD AL-MATURIDI
                Bukhara           :   AL-BAZDAWI
    AT-TAFFAZANI
    AN-NASAFI

POKOK-POKOK PEMIKIRAN

B.      SIFAT TUHAN :
                  Samarkand : Sifat bukan Tuhan tetapi tidak lain dari Tuhan.
`    Bukhara      : Tuhan memiliki sifat-sifat tertentu, dan mengetahui dengan ilmu-    Nya,   
                                       bukan   dengan dzat-Nya, dan berkuasa dengan qudrat-Nya, bukan           
                                       dengan dzat-Nya.


C.      PERBUATAN TUHAN : Tuhan hanya menciptakan perbuatan yang baik.


D.      PERBUATAN MANUSIA : Perbuatan manusia semata-mata  diwujudkan oleh manusia itu sendiri.

E.       AL-QUR’AN : Al-qur’an adalah kalamullah yang kodim.



9.  SALAFIYYAH

A.      TOKOH PENDIRI :
 IBNU HAMBAL (abad 1 H)
IBNU TAIMIYAH (abad 3-4 H)
MUHAMMAD IBNU ABDUL WAHHAB (abad 12 H)

POKOK-POKOK PEMIKIRAN

B.      SIFAT TUHAN : Tuhan memiliki sifat tetapi tidak sama dengan sifat mahluknya.


10.  WAHABIYAH

A.   TOKOH PENDIRI :
                                                    MUHAMMAD IBNU ABDUL WAHHAB

POKOK-POKOK PEMIKIRAN

B.   SIFAT TUHAN : Tuhan memiliki sifat tetapi tidak sama dengan sifat mahluknya.


A. AKAL DAN WAHYU MENURUT ALIRAN-ALIRAN KALAM
     1. ASY'ARIYAH
       Akal menempati posisi yang lemah Kemampuan akal hanya sebatas     mengetahui Tuhan saja. Akal tidak mampu mengetahui     baik dan buruk ● Kewajiban mengetahui Tuhan,     dan kewajiban mengerjakan keba-     jikan serta meninggalkan kejaha-     tan hanya dapat diketahui melalui     wahyu ● Akal tidak akan memperoleh ke-     benaran hakiki di luar pengetahu-     an tentang Tuhan. ● Wahyu merupakan sumber bagi     segalanya.2. MATURIDIAH 
      a.  SAMARKAND 
     ● Menurut Abu Mansur al Maturidi:     Potensi akal dalam 3 hal:     1. Mengetahui Tuhan     2. Kewajiban mengetahui Tuhan     3. Mengetahui baik dan jahat ● Akal tidak dapat menjangkau satu     hal, yaitu: kewajiban mengetahui     dan melaksanakan kebajikan dan     menjauhi kejahatan ● Akal mampu mengetahui sifat baik     yang terdapat dalam sesuatu yang     baik, dan mengetahui yang buruk     yang terdapat dalam sesuatu yang     buruk. Hal semacam ini disebut     sebagai kebenaran objektif. ● Abu Mansur al Maturidi:     Kewajiban itu wajib menurut akal     naluri (al 'aql al garizi)        
      b. BUKHARA 
      ● Akal hanya mampu mengetahui     dua hal saja:     1. Mengetahui Tuhan     2. Mengetahui baik dan jahat ● Akal manusia hanya mampu men-     jangkau pengetahuan-pengetahuan     dan tidak mampu menjangkau      kewajiban-kewajiban. Sebab yang     menentukan kewajiban2 hanyalah     Tuhan ● Menurut Imam Abu Hanifah:     Mengetahui Tuhan adalah wajib     menurut akal, meskipun tidak ada     pemberitaan dari wahyu.                             


     3. MU'TAZILAH
      ● Mu'tazilah lebih memprioritaskan     kemampuan akal dari pada sumber     lainnya ● Akal mampu memperoleh segala     macam pengetahuan ● Wahyu berfungsi sebagai pembim-     bing dan penegasan kebenaran,     serta pembimbing akal, sebagaimana     kecek Abu Huzail dan an Nazam, cs. ● Akal mampu mengetahui 4 hal     secara global, sebagaimana disebut ● Abu Huzail: berterima kasih kepada      Tuhan sebelum turunnya wahyu      adalah wajib ● Al Murdar: Akal bukan hanya mampu      mengetahui Tuhan, melainkan ber-      kewajiban mengetahui hukum-hukum      dan sifat-sifat Tuhan, meskipun belum      ada wahyu  


     4. MUHAMMAD ABDUH (1849-1905)
     ● Wahyu dan akal merupakan dua     jalan untuk memperoleh pengeta-     huan. ● Akal mampu mengetahui lebih dari     4 hal yang disebut terdahulu, al:     1. Mengetahui kehidupan di akhirat     2. Mampu membuat hukum-hukum ● Wahyu juga dapat berfungsi sebagai      infromasi dan konfirmasi ● Wahyu mempunyai 2 fungsi pokok:     1. Menolong akal untuk mengetahui          alam akhirat dan keadaan hidup          manusia disana     2. Wahyu menolong akal dalam          mengatur masyarakat. ● Wahyu juga dapat menolong akal      manusia dalam menyempurnakan      pengetahuannya tentang Tuhan,      sifat-sifat Tuhan, kewajiban-kewa-      jiban manusia kepada Tuhan, serta      kebaikan dan kejahatan

B.PELAKU DOSA BESAR, IMAN, DAN KUFUR MENURUT PERSFEKTIF ALIRAN KALAM
1. KHAWARIJ
● Iman membenarkan dalam     hati, mengikrarkan dengan     lisan, dan mengerjakan     dengan anggota badan ● Orang yang bersyadatain      tetapi tidak diikuti dengan      mengerjakan kewajiban-      kewajiban-Nya berarti ia      telah
KUFUR ● Shalat, puasa, zakat, berji-     had, berbuat adil, dll,      adalah unsur-unsur iman.     Siapa yang tidak setuju     dengan pendapat itu      dianggap kafir  
Golongan al-ZARIQAH : ● Orang yang tidak sependa-     pat dengan mereka adalah     Kafir   
Golongan al MUHAKKIMAH ● Pelaku dosa besar seperti     berzina, membunuh tanpa     sebab, dll, adalah Kafir
 Golongan al NAJDAH ● Pengikutnya yang melaku     kan dosa besar akan men     dapat siksaan, tetapi     Tidak Termasuk Kafir ● Dosa kecil yang dilakukan     secara berulang-ulang      menjadi besar dan menjadi     Musyrik      
Golongan SURFIAH ● Dosa besar yang menyebab     kan seseorang menjadi     kafir hanyalah dosa besar     yang tidak ada hukuman-     nya di dunia. ● Kufur bagi mereka ada 2:     1. Kufr bi inkar al Ni'mah     2. Kufr bi inkar al Rububiah
Golongan al IBADAH (Moderat) ● Orang Islam yang melaku-     kan dosa besar adalah     muwahhid, tetapi ia bukan     Mukmin. Meskipun Kafir,     orang semcam ini bukan     jenis kafir al Millah (kafir     dalam agama), melainkan     hanya Kafir Nikmat.          


2. MURJI'AH
     ●Murjiah dikenal konsep:    Tahdidu al ma'na al iman    (batasan makna iman) ●Iman cukup dengan pem-    benaran dalam hati ●Iman mempunyai 2 rukun:    1. Membenarkan dengan         hati    2. Mengikrarkan dengan         lisan ●Orang yang melakukan    dosa besar tidak kekal di    dalam neraka. Sebanyak    apa pun dosa besar tidak    menyebabkan seseorang    menjadi kafir. Ia tetap     mukmin dan tetap ada    harapan masuk surga karna    keimannya ●Ibadah ritual seperti :    shalat, puasa, zakat, adalah    tidak penting. Yang disebut    ibadah adalah hanyalah    Iman ●Muqatil bin Sulaiman    Perbuatan seseorang    tidaklah merusak Iman
      Golongan al JAHMIAH (Ekstrim) ●Orang Islam yang menyata    kan kekafirannya secara    lisan tidaklah menjadi kafir    sebab tempat iman dan    kufur ada di dalam hati ●Sekte Murji'ah ekstrim    lainnya adalah:    -al Salihiyah    -al Yunusiah    -al Ubaidiyah    -al Kassaniyah    -Klmpk Muqatil bin sulaiman  


3. MU'TAZILAH  
     ●Iman bersifat aktif, tidak    sekedar pengakuan dengan    hati, dan pengucapan     dengan lisan, tetapi harus    dengan hati, lisan, dan    perbuatan secara aktif ●Orang yang berbuat dosa     besar bukanlah mukmin     sejati dan juga bukan kafir     sejati, juga bukan munafiq,     alias muna, tetapi FASIK ●Kefasikan adalah sesuatu     yang berdiri sendiri antara    iman dan kafir, yang dikenal dengan al Manzilah bain al Manzilatain ●Sebutan kafir tidak layak    ditujukan kepada pembuat    dosa besar, selama mereka    mengucapkan 2 kalimat    Syahadat dan mengerjakan    amalan-amalan baik ●Iman adalah pelaksanaan    perintah-perintah Tuhan
      An Nazam:    Iman adalah menjauhi    dosa-dosa besar
      Abu Huzail : Yang dimaksud dengan  perintah-perintah Tuhan  bukan hanya perintah yang bersifat wajib


4. ASY'ARIAH
Abu Hasan al Asy'ari: Iman adalah: "al Tasdiq bi Allah"
  al Baghdadi : Iman adalah: "al Tasdiq bi al Rasul", serta berita yang mereka bawa. ●Menurut Asy'ariah: Iman bukan merupakan ma'rifah atau amal. Iman hanyalah tasdiq dan penge- tahuan tidak timbul kecuali setelah adanya wahyu. ●Iman adalah pembenaran    dengan hati (al tasdiq bi    al qalb) ●Orang dianggap beriman    jika ia mengakui keesaan    Tuhan, membenarkan ke-     rasulan Muhammad, dan     membenarkan ke wahyua-     Nya. 
  Masalah Pelaku Dosa Besar diserahkan kepada Allah, karena Allah mempunyai kekuasaan mutlak. Pelaku dosa besar mungkin di- maafkan, mungkin pula di masukan ke dalam neraka, atau mungkin juga dimasu- kan ke surga karena rahmat- Nya. ●Asy'ariah menolak sepenuh    nya konsep al manzilah    bain al manzilatain ●Pelaku dosa besar tetap    dianggap mukmin, bukan    kafir, karena masih memi-    liki keimanan. Tetapi, kare    na ia melakukan dosa besar    maka ia menjadi Mukmin    yang Fasik ●Amal dan perkataan bisa    berpengaruh terhadap    kualitas iman, (iman bisa    bertambah dan berkurang)


5. MATURIDIAH
a. SAMARKAND 
  ●Iman adalah makrifah, bu-    kan sekedar tasdiq. Karena    akal mampu mengetahui    kewajiban mengetahui    (makrifah) Tuhan. ●Makrifah adalah mengeta-    hui Tuhan dengan segala    sifat-sifat-Nya. ●Tauhid adalah mengenal     Tuhan dalam ke-Esaa-Nya,     karenanya, Maturidiah     melarang taqlid dalam     masalah keimanan
    Catatan: Pelaku dosa besar masih dianggap Mukmin. Sedang- kan hukumannya ditentukan oleh Tuhan di akhirat.   -Maturidiah juga menolak   konsep al manzilah bain   al manzilatain          
b. BUKHARA
 ●Konsep iman dan kufurnya    sama dengan pendapat     ulama Asy'ariah. Iman     menurut mereka, sama      dengan pendapat      al Bazdawi, yaitu Tasdiq      


C. PERBUATAN TUHAN MENURUT PERSPEKTIF ALIRAN KALAM
1. MU'TAZILAH
●Perbuatan Tuhan hanya terbatas pada    hal-hal yang baik saja. Namun demikian,    bukan berarti tidak mampu melakukan     perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan    perbuatan buruk karena ia mengetahui     keburukan dari buruk tersebut. Pendapat    tersebut didasarkan pada QS. Al Anbiya:23    "Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang    dikerjakan, tetapi merekalah yang akan    ditanya". ●Tuhan mempunyai kewajiban berbuat    baik dan terbaik bagi manusia (as sholah wa    al aslah) ●Konsep as sholah wa al aslah, mengkonseku    ensikan pada 3 kewajiban Allah:    1. Kewajiban tidak memberikan beban di         luar kemampuan manusia;     2. Kewajiban mengirmkan rasul;     3. Kewajiban menepati janji (al wa'd) dan          ancaman (al wa'id)  




2. ASY'ARIAH
●Menolak sepenuhnya paham as sholah wa     al ashlah milik mu'tazilah, karena berten-    tangan dengan paham kekuasaan dan ke-    hendak mutlak Tuhan. ●Imam Ghazali:     "Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik    dan terbaik  bagi manusia. Tuhan dapat    berbuat apa saja terhadap makhluk-Nya.    "Perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak    wajib (Jaiz) ●Pengiriman rasul memang diperlukan    dalam kehidupan, tetapi hal itu bukanlah    kewajiban bagi Tuhan.      ●Tuhan bebas berbuat dan berkendak bagi    makhluk-Nya.              

3. MATURDIAH


a. SAMARKAND
 ●Perbuatan Tuhan hanya menyangkut    hal-hal yang baik saja. ●Tuhan mempunyai kewajiban bagi manusia   ●Pengiriman rasul dan menepati janji adalah    kewajiban bagi Tuhan     (sama dengan pendapat Mu'tazilah)   ●Dalam masalah pemberian beban di luar    kemampuannya (taklif ma la yutaq),     Maturidiah Samarkand mengambil posisi    yang sama dengan Mu'tazilah. Al-Maturidi    tidak setuju dengan Asy'ari, karena menu-    rutnya Al qur'an mengatakan bahwa Tuhan    tidak membebani manusia dengan kewaji-    ban-kewajiban yang tak sanggup dipikulnya   ●Manusialah yang sebenarnya mewujudkan    perbuatan-perbuatannya, bukan Tuhan.




b. BUKHARA
●Maturidah Bukhara memiliki pandangan    yang sama dengan aliran Asy'ariah mengenai    paham bahwa tidak ada kewajiban bagi Tuhan.  
Namun demikian, menurut al Bazdawi :    "Tuhan pasti menepati janji-Nya. Tuhan pasti    memberi imbalan pahala kepada orang yang    berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja    membatalkan ancaman bagi orang yang me-    lakukan dosa besar. Nasib orang berbuat     dosa ditentukan oleh kehendak Tuhan.    masuk neraka, atau masuk surga, sementara,    atau selamanya, terserah Tuhan.   ●Pengiriman rasul tidaklah bersifat wajib, dan    hanya bersifat jaiz saja. (sama dengan Asi'a-    riah) ●Mengenai pemberian beban kepada manusia    di luar batas kemampuannya (taklif ma la    yutaq), Maturdiah Bukhara sependapat     dengan Asy'ariah, "Tuhan tidaklah mustahil    meletakkan kewajiban-kewajiban yang tidak    dapat dipikul oleh manusia., sebagaimana    pendapat al Bazdawi.

1 komentar:

  1. Mkasih y pk ner atas blog na...
    sungguh mempermudah kami belajar dlam berbagai aliran yg sulit kita pahami dlam bku....

    BalasHapus