BAB I
JINAYAH
A.
PEMBUNUHAN
1. Pengertian
Pembunuhan adalah melenyapkan nyawa
orang lain, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, baik dengan menggunakan
alat yang dapat mematikan maupun dengan alat yang tidak dapat mematikan.
2. Dasar Hukum Larangan
Membunuh
Dasar
Hukum dilarangnya melakukan pembunuhan adalah QS. Al-Isra ayat 33, QS.
Al-Baqarah ayat 178, QS. An-Nisa ayat 92, dan Hadis Nabi saw.
3. Macam-macam Pembunuhan
dan sanksinya
Pembunuhan
ada 3 (tiga) macam, yaitu :
a. Pembunuhan yang
disengaja (qathlu al-‘amd), yaitu
pembunuhan yang dilakukan secara terencana dengan menggunakan alat yang biasa
digunakan untuk membunuh (seperti; senjata api, bom, senjata tajam lainnya),
menggunakan alat yang dapat mematikan (seperti; dipukul dengan tongkat, batu
besar, dan sejenisnya), menggunakan anggota badan pelaku pembunuhan (seperti;
dicekik, dinjak-injak, dan semacamnya) atau tanpa menggunakan alat (seperti;
membiarkan tanpa diberi makan dan minum).
Hukumannya (sanksinya) adalah :
1) Qisas, yaitu dihukum
mati.
2) Diyat, yaitu
denda berupa benda atau uang jika dimaafkan oleh keluarga korban.
3) Kaffarat, yaitu
hukuman sebagai bentuk taubat kepada Allah swt.
b. Pembunuhan
seperti sengaja (qathlu sibhu al-‘amd),
yaitu pembunuhan yang dilakukan tanpa disengaja dengan menggunakan alat yang
biasanya tidak mengakibatkan kematian. Seperti; mendorong orang lain hingga
jatuh, melempar orang lain dengan batu kerikil,
dan semisalnya.
Hukumanya (sanksinya) adalah :
1) Diyat, yaitu
denda berupa benda atau uang.
2) Kaffarat, yaitu
hukuman sebagai bentuk taubat kepada Allah swt.
c. Pembunuhan
tidak disengaja (qathlu al-Khatha’),
yaitu pembunuhan yang dilakukan tanpa adanya kesengajaan sama sekali atau
karena adanya kesalahan atau kekeliruan. Seperti; seseorang meleset melempar
buah dengan menggunakan batu dan terkena orang lain yang mengakibatkan
kematian.
Hukumannya (sanksinya) adalah :
1) Diyat, yaitu
denda berupa benda atau uang.
2) Kaffarat, yaitu
hukuman sebagai bentuk taubat kepada Allah swt.
B.
QISAS
1. Pengertian
Qisas adalah hukuman balasan yang
seimbang bagi pelaku pembunuhan atau bagi pelaku pengrusakan anggota badan
orang lain yang dilakukan dengan sengaja.
2. Dasar Hukum Qisas
Dasar
hokum qisas adalah QS. Al-Baqarah ayat 178, QS. An-Nisa ayat 93, dan Hadis Nabi
saw.
3. Syarat-syarat Qisas
Syarat-syarat
qisas adalah :
a.
Pembunuh sudah balig dan berakal sehat.
b.
Pembunuh bukan orang tua dari orang yang terbunuh.
c.
Pembunuhan dilakukan dengan sengaja.
d.
Orang yang terbunuh terpelihara darahnya.
e.
Orang yang dibunuh sama derajatnya dengan pembunuh.
f.
Qisas dilakukan dalam hal yang sama. Seperti: jiwa
dengan jiwa, anggota badan dengan anggota badan yang sama.
4. Macam-macam Qisas
Qisas
terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu :
a. Qisas jiwa,
artinya orang yang melenyapkan jiwa orang lain maka dihukum dengan jiwa pelaku
pembunuhan.
b. Qisas anggota
badan, artinya orang yang merusak, melukai, atau menghilangkan fungsi anggota
badan orang lain maka dihukum dengan merusak, melukai atau menghilangkan fungsi
anggota badan pelakunya.
5. Pembunuhan oleh Masa
Jumhur fuqaha sepakat bahwa pembunuhan
yang dilakukan oleh sekelompok orang atau massa, maka hukumannya harus diqisas
semua, baik terhadap pelaku pembunuhan, orang yang menyediakan alat, orang yang
membiayai, maupun terhadap orang yang membantu dengan pikirannya, atau yang
semisalnya.
Ali bin Abi Thalib pernah menghukum
qisas terhadap 3 orang yang bekerjasama membunuh orang lain.
Ibnu Abbas menyatakan bahwa
sekelompok massa
yang membunuh orang lain maka hukumannya diqisas meskipun jumlah pelakunya
mencapai 100 orang.
Imam Malik berpendapat bahwa
sekelompok orang yang bersekongkol melakukan pembunuhan, maka semuanya harus
diqisas.
6. Hikmah Qisas
a.
Melindungi jiwa dan raga manusia
b.
Menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat
c.
Terciptanya ketertiban, keamanan, dan kedamaian dalam
masyarakat.
d.
Mencegah dari pelaku kejahatan
e.
Memberikan efek jera
C. DIYAT
1. Pengertian
Diyat adalah denda, yaitu denda yang
diwajibkan terhadap pelaku pembunuhan yang tidak dikenakan qisas atau terkena
hukum qisas tetapi dimaafkan oleh keluarga korban, dengan membayar sejumlah
barang atau uang sebagai pengganti hukum qisas.
2. Macam-macam dan Dasar
Hukum Diyat
a.
Diyat
Mughalladzah
(denda berat), yaitu membayar denda berupa 100 ekor unta terdiri dari; 30 ekor hiqqah (unta betina umur 3-4 th), 30
ekor jadza’ah (unta betina umur 4-5
th), dan 40 ekor khalafah (unta
betina yang bunting).
Diyat Mughalladzah
ini dikenakan
terhadap pelaku :
1) Pembunuhan
disengaja tetapi dimaafkan oleh anggota keluarga korban, dan dibayarkan secara tunai.
2) Pembunuhan
seperti sengaja. Dibayarkan selama 3 (tiga) tahun, setiap tahunnya sepertiganya.
3) Pembunuhan yang
tidak disengaja yang dilakukan di tanah haram (Mekkah), atau di bulan-bulan
haram, seperti; bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
4) Pembunuhan yang
tidak disengaja yang dilakukan terhadap mahramnya, selain orang tua terhadap
anaknya.
b.
Diyat
Mukhaffafah
(denda ringan), yaitu membayar denda berupa 100 ekor unta terdiri dari; 20 ekor
hiqqah, 20 ekor jadza’ah, 20 ekor binta labun
(unta betina umur 2 th lebih), 20 ekor ibnu
labun (unta jantan umur 2 th lebih), dan 20 ekor binta makhad (unta betina umur 1 th lebih).
Diyat Mukhaffafah ini dikenakan terhadap pelaku :
1) Pembunuhan yang
tidak disengaja yang dilakukan selain di tanah haram (Mekkah), bulan-bulan
haram, dan bukan terhadap mahramnya. Pembayarannya selama 3 (tiga) tahun , dan
setiap tahunnya sepertiganya.
2) Orang yang
sengaja memotong, membuat cacat, atau melukai anggota badan orang lain, tetapi
dimaafkan oleh korban atau keluarganya.
3. Sebab-sebab dikenakan Diyat
a. Membunuh dengan
sengaja yang dimaafkan oleh keluarga korban (qathlu al-‘amd).
b. Membunuh yang
mirip sengaja (qathlu syibhu al-‘amd)
c. Membunuh dengan
tidak disengaja (qathlu al-khatha’).
d. Memotong,
membuat cacat, atau melukai anggota badan orang lain yang dimaafkan oleh korban
atau keluarganya.
e. Jika pelaku pembunuhan kabur sebelum
pelaksanaan qisas, maka keluarganya yang wajib membayar diyat.
4. Diyat selain
Pembunuhan
a.
Membayar diyat mukhaffafah penuh (100 ekor unta) bagi
orang yang melakukan kejahatan :
b.
Membayar setengah diyat mukhaffafah (50 ekor unta) bagi
orang yang memotong salah satu anggota tubuh yang dua-dua.
c.
Membayar sepertiga diyat mukhaffafah (30-35 ekor unta) bagi
orang yang melukai kepala sampai otak, atau melukai badan sampai perut.
d.
Membayar diyat 15 ekor unta bagi orang yang melukai
yang mengakibatkan putusnya jari tangan atau jari kaki.
e.
Membayar diyat 5 ekor unta bagi orang yang melukai yang
mengakibatkan satu gigi copot. Sebagian ulama menyatakan bahwa jika semua gigi
copot maka dikalikan 5 ekor unta, dan sebagian ulama lainnya menyatakan cukup membayar
60 ekor unta dewasa saja.
5. Hikmah Diyat
a. Mencegah
terhdapa kejahatan jiwa dan raga manusia.
b. Menjadi obat
pelipur lara bagi korban maupun keluarganya.
c. Terciptanya
ketenangan dan ketenteraman dalam kehidupan masyarakat.
d. Memberi
kesempatan pelaku bertaubat dan ke depannya lebih hati-hati dalam melakukan
suatu perbuatan.
e. Mendidik jiwa
pemaaf.
D. KAFFARAT
1.
Pengertian
Kaffarat adalah tebusan dengan
melakukan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan oleh syara’, dikarena telah
melakukan kesalahan atau pelanggaran yang diharamkan oleh Allah swt.
2.
Macam-macam Kaffarat
a.
Kaffarat karena pembunuhan berupa memerdekakan hamba
sahaya yang mukmin, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Dasar hukumnya adalah QS. An-Nisa
ayat 92.
b.
Kaffarat karena melanggar sumpah (sumpah palsu) berupa
memerdekakan seorang budak, atau memberikan makan/pakaian kepada 10 orang
miskin, atau berpuasa selama tiga hari.
Dasar hukumnya adalah QS. Al-Maidah
ayat 89.
c.
Kaffarat karena membunuh binatang buruan saat berihram
berupa mengganti dengan binatang yang seimbang, atau memberi makan kepada
orang-orang miskin seharga binatang yang dibunuhnya, atau berpuasa yang jumlah
harinya seimbang dengan jumlah mud yang akan diberikan kepada orang-orang
miskin.
Dasar hukumnya adalah QS. Al-Maidah
ayat 95.
d.
Kaffarat karena zihar berupa memerdekakan hamba sahaya,
atau berpuasa selama dua bulan berturt-turut, atau memberikan makan kepada 60
orang miskin.
Dasar hukumya adalah QS.
Al-Mujadilah ayat 3-4.
e.
Kaffarat karena melakukan hubungan suami istri pada siang
hari di bulan Ramadhan berupa memerdekakan hamba sahaya, atau berpuasa selama
dua bulan berturt-turut, atau memberikan makan kepada 60 orang miskin, dan
membayar qadha puasa yang ditinggalkannya.
f.
Kaffarat karena sumpah ‘ila berupa memerdekakan seorang
budak, atau memberikan makan/pakaian kepada 10 orang miskin, atau berpuasa
selama tiga hari.
3.
Hikmah Kaffarat
a. Memberikan efek
jera dengan menyesali perbuatannya yang salah.
b. Lebih
mendekatkan diri kepada Allah swt dengan bertaubat.
c. Memberikan
ketenangan kepada pelaku pembunuhan atau kejahatan.
BAB II
HUDUD
- ZINA
1.
Pengertian
Zina adalah melakukan persetubuhan antara
laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri atau bukan budaknya.
2.
Dasar Hukum Larangan Zina
Dasar hukum larangan berzina adalah
QS. Al-Isra ayat 32, dan Hadis Nabi saw.
3.
Dasar Penetapan Adanya Perbuatan
Zina
Terdapat dua cara, yaitu :
a. Adanya 4
(empat) orang saksi dengan syarat; laki-laki semuanya, adil, memberikan
kesaksian yang sama tentang tempat, waktu, pelaku, dan cara melakukannya.
b. Adanya
pengakuan dari pelaku zina sendiri dengan syarat; balig dan berakal sehat.
4.
Macam-macam Zina dan Sanksinya
(hadnya)
Zina ada 2 (dua) macam, yaitu :
a. Zina Muhsan,
yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah (suami atau istri) atau
pernah menikah (duda atau janda). Hadnya adalah dirajam, yaitu dilempari dengan
batu hingga mati.
Dasarnya adalah hadis Nabi saw
berdasarkan riwayat Bukhari dari Jabir ibnu Abdillah al-Anshari ra.
b. Zina ghairu
muhsan, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang berlum pernah menikah. Hadnya
adalah dicambuk (dijilid) sebanyak 100 kali dan dibuang ke daerah lain
(diasingkan) selama satu tahun.
Dasarnya adalah QS. An-Nur ayat 2,
QS. An-Nisa ayat 25.
5.
Hikmah Larangan Berzina
a. Menjaga
kesucian dan harga diri (martabat manusia), baik di hadapan Allah maupun
manusia.
b. Menjaga nasab
(keturunan) dari percampuradukkan yang diharamkan oleh agama.
c. Terpelihara
dari penyakit kelamin.
d. Memberikan efek
jera bagi yang henda berbuat zina.
B.
QAZAF
1.
Pengertian dan Hukumnya
Qazaf adalah seseorang melemparkan
tuduhan berbuat zina kepada orang lain tanpa didukung dengan bukti-bukti yang
kuat. Hukumnya adalah haram.
2.
Had Qazaf
Had qazaf berupoa dicambuk sebanyak
80 kali cambukan.
Dasarnya adalah QS. An-Nur ayat 4,
dan hadis Nabi saw.
3.
Syarat-syarat Dikenakan Had Qazaf
a. Orang yang
menuduh sudah balig, berakal sehat, dan bukan orang tua dari tertuduh (ayah,
ibu, kakek, atau nenek, dan terus ke atas).
b. Orang yang
dituduh adalah orang yang terpelihara (muslim/muslimah, balig, berakal sehat,
dan tidak pernah berbuat zina).
c. Penuduh
mengakui perbuatannya sendiri bahwa ia berdusta.
4.
Syarat-syarat Gugurnya Had Qazaf
a. Penuduh dapat
menghadirkan 4 (empat) orang saksi (laki-laki, adil, serta memberikan kesaksian
yang sama tentang tempat, waktu, dan cara melakukannya).
Dasar hukumnya adalah QS. An-Nur
ayat 4.
b. Sumpah li’an,
bagi suami yang menuduh istrinya berzina tanpa menghadirkan 4 orang saksi.
Dasar hukumnya adalah QS. An-Nur
ayat 6-7.
c. Tertuduh
memaafkan orang yang menuduhnya.
d. Adanya
pengakuan tertuduh bahwa ia benar telah berbuat zina.
5.
Hikmah Had Qazaf
a. Seseorang tidak
akan sembarangan menuduh orang lain berzina tanpa adanya bukti yang kuat.
b. Menjaga dan
memelihara orang Islam dari tuduhan yang tidak berdasar.
C.
MINUMAN KERAS
1.
Pengertian dan Hukumnya
Minuman keras adalah segala jenis
minuman yang memabukkan yang mengakibatkan hilangnya kesadaran. hukum meminum
minuman kerasa adalah haram dan merupakan dosa besar.
Dasar hukumnya adalah QS. Al-Maidah
ayat 90 dan hadis Nabi saw.
2.
Had Minuman Keras
Orang yang meminum minuman keras
dikenakan had sebanyak 40 – 80 kali cambuk.
3.
Hikmah Larangan Minuman Keras.
a. Menjaga
kesehatan badan dan mental.
b. Menghindari
munculnya kejahatan social.
c. Menjaga
generasi muda yang lebih baik, sehat jasmani dan rohani.
d. Melindungi
kehormatan dari bahaya minuman keras.
D. MENCURI,
MENYAMUN, MERAMPOK DAN MEROMPAK
1.
Pengertian dan Hukum Mencuri
Mencuri adalah mengambil harta milik
orang lain yang tidak ada hak untuk memilikinya, yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pemiliknya, dan secara sembunyi-sembunyi. Hukumnya adalah haram
dan termasuk dosa besar.
2.
Penetapan Adanya Perbuatan Mencuri
Seseorang dianggap telah melakukan
pencurian jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Mukallaf, yaitu
balig dan berakal.
b. Adanya
pengakuan dari pelaku pencurian.
c. Dilakukan
secara sembunyi-sembunyi.
d. Pelaku
pencurian tidak memiliki saham terhadap barang yang dicurinya.
e. Barang yang
dicuri adalah benar milik orang lain.
f.
Barang yang dicuri mencapai jumlah nishab.
g. Barang yang
dicuri berada di tempat penyimpanan yang layak.
3.
Had Mencuri
Secara umum, orang yang melakukan
pencurian dikenakan had berupa potong tangan. Dasar hukumnya adalah QS.
Al-Maidah ayat 38.
Kemudian Rasulallah saw menjelaskan
secara rinci perihal tingkatan potong tangan kepada pelaku pencurian yang lebih
dari satu kali, sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Syafi’iy.
Imam Malik dan Imam Syafi’ie memberi
urutan sebagai berikut :
a. Jika mencuri
untuk pertama kali, dipotong tangan kanannya.
b. Jika
mencuriuntuk kedua kalinya, dipotong kaki kirinya.
c. Jika mencuri
untuk ketiga kalinya, dipotong tangan kirinya.
d. Jika mencuri
untuk keempat kalinya, dipotong kaki kanannya.
e. Jika mencuri
untuk kelima kali dan seterusnya, dihukum ta’zir dan dipenjara sampai betaubat.
4.
Batasan Kadar (nishab) Barang yang
Dicuri
Terdapat bebrapa pendapat ulama,
yaitu :
a. Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa nishab barang curian adalah sepuluh dirham
b. Mazhab Syafi’ie
berpendapat bahwa nishab barang curian adalah ¼ dinar atau sekitar 3,34 gram
emas.
c. Mazhab Maliki
dan Hambali berpendapat bahwa nishab barang curian adalah ¼ dinar atau 3 dirham
atau sekitar 3,34 - 3,36 gram emas.
Catatan :
Nilai 1 dinar sekitar 10 – 12 dirham
atau sekitar 13,36 gram emas.
5.
Pengertian serta Hukum Menyamun,
Merampok, dan Merompak
Menyamun adalah mengambil harta milik orang
lain secara paksa dengan menggunakan kekerasan, ancaman senjata dan terkadang
disertai penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan di tempat-tempat sunyi.
Menyamun adalah termasuk dosa besar
karena merupakan suatu kejahatan merampas harta orang lain yang disertai ancaman
jiwa, oleh karena hukumnya adalah haram.
Merampok adalah mengambil harta milik orang
lain secara paksa dengan menggunakan kekerasan, ancaman senjata dan terkadang
disertai penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan di tempat-tempat yang
ramai.
Merampok adalah termasuk dosa besar
karena merupakan suatu kejahatan merampas harta orang lain yang disertai
ancaman jiwa, oleh karena hukumnya adalah haram.
Merompak adalah mengambil harta milik orang
lain secara paksa dengan menggunakan kekerasan, ancaman senjata dan terkadang
disertai penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan di laut.
Merompak adalah termasuk dosa besar
karena merupakan suatu kejahatan merampas harta orang lain yang disertai
ancaman jiwa, oleh karena hukumnya adalah haram.
6.
Had Menyamun, Merampok, dan Merompak
Secara umum, perbuatan menyamun,
merampok, dan merompak dikenakan had dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki secara menyilang, atau diasingkan dari tempat kediamanannya.
Secara rinci had bagi para penyamun,
perampok, dan perompak adalah sebagai berikut :
a. dihukum mati
dan disalib, jika merampas harta disertai dengan pembunuhan.
b. Dipotong tangan
dan aki secara silang, jika hanya merampas harta tanpa disertai pembunuhan.
c. Dihukum mati
(qisas), jika membunuh korban tanpa merampas hartanya.
d. Dipenjara atau
diasingkan dari tempat tinggalnya, jika dalam aksinya belum sempat merampas
harta dan atau tidak membunuh korbannya.
E. BUGHAT
1.
Pengertian, Hukum, dan Status Hukum
Bughat
Bughat adalah sekelompok orang bersenjata
yang membangkang terhadap peraturan dan pemerintahan yang sah.
Perbuatan bughat temasuk dosa besar
karena dianggap telah berbuat zalim dan durhaka kepada pemimpin yang sah. Oleh
karena itu jika mereka tidak mau kembali mentaati peraturan pemerintahan yang
sah setelah diupayakan dengan cara berdialog dan musyawarah, maka wajib
diperangi.
Dasar hukumnya adalah QS. An-Nisa
ayat 59, QS. Al-Hujurat ayat 9, dan hadis Nabi saw.
2. Penetapan
Adanya Perbuatan Bughat
Sekelompok orang dinyatakan telah
melakukan bughat, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. mempunyai
kekuatan.
b. Tidak mentaati
dan keluar dari peraturan pemerintah yang sah
c. Memiliki
pengikut dengan ideology yang sama dalam tindakannya.
d. Memiliki
pemimpin sendiri yang ditaati oleh kelompoknya
3.
Contoh Perbuatan Bughat
a. Pada masa
Rasulallah saw di Madinah, terdapat sekelompok orang Yahudi dari Bani Quraidhah
yang melakukan pengingkaran terhadap perjanjian perdamaian yang dibuat bersama
Rasulallah saw. Mereka melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap umat
Islam.
Kemudian Rasulallah saw memerangi
mereka dengan membunuh mereka yang melawan kecuali anak-anak, wanita, dan
orang-orang yang sudah jompo.
b. Pada masa
pemerintahan Abu Bakar Shiddiq telah terjadi pembangkangan yang dilakukan umat
Islam dengan tidak mau membayar zakat. Perbuatan ini dianggap bughat, oleh
karena itu Abu Bakar Shiddiq memerangi merka.
c. Pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib, kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan telah
dianggap bughat terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib, oleh karena itu
Khalifah Ali bin ABi Thalib memerangi mereka yang mengakibatkan terjadinya
perang Siffin.
BAB III
PERADILAN
A.
ARTI, FUNGSI, DAN HIKMAH
Peradilan adalah lembaga yang
menempatkan perkara-perkara hukum sesuai dengan tempatnya.
Fungsi peradilan adalah
terpeliharanya kepastian hokum.
Hikmah peradilan adalah :
1. Terciptanya
keadilan dan perdamaian dalam masyarakat
2. terciptanya
kesejahteraan masyarakat
3. terwujudnya
aparatur pemerintahan yang jujur, bersih, dan berwibawa
4. terwujudnya suasana
yang mendorong untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt.
B.
HAKIM
1. Pengertian
Hakim adalah orang yang diangkat
oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan dan
persengketaan-persengketaan.
2. Fungsi
Hakim
Fungsi hakim adalah :
a. Meneliti dan
menyelidiki perkara yang dipersidangkan di pengadilan dengan berupaya
mengungkapkan bukti-bukti yang otentik.
b. Menetapkan dan
memutuskan hokum secara adil berdasarkan bukti-bukti yang benar.
3. Syarat-syarat
Menjadi Hakim
a. Muslim
b. Balig
c. Berakal
d. Adil
e. Mengetahui
hokum / undang-undang
f.
Sehat jasmani dan rohani
g. Dapat membaca
dan menulis
h. Memahami ijma’
ulama serta perbedaan tradisi umat
i.
Mampu dan menguasai metode ijtihad karena ia tidak
boleh taqlid
4. Adab /
Etika Hakim
a. Berkantor di
tengah-tengah negeri/kota.
b. Menganggap sama
terhadap orang yang berperkara
c. Jangan
memutuskan hokum dalam keadaan :
1) Marah
2) Sangat lapar
dan haus
3) Sangat susah
atau sangat gembira
4) Sakit
5) Menahan buang
air
6) Mengantuk
d. Tidak boleh
menerima pemberian atau hadiah dari orang-orang yang berperkara.
e. Tidak boleh menunjukkan
cara mendakwa dan cara membela
C.
SAKSI
1. Pengertian
Saksi adalah orang yang dimintakan
hadir dalam suatu persidangan untuk memberikan keterangan yang membenarkan atau
menguatkan bahwa peristiwa itu terjadi.
2. Syarat-syarat
saksi
a. Muslim
b. Merdeka
c. Dapat berbicara
d. Bukan musuh
terdakwa
e. Mempunyai
ingatan yang kuat (dhabit)
3. Kesaksian
orang buta
Selama masih ada saksi yang sempurna
(tidak buta), orang buta tidak dapat dihadirkan sebagai saksi.
Imam Abu Hanifah tidak
memperbolehkan kesaksian orang buta secara mutlak.
Imam Syafi’ie hanya membolehkan
kesaksian orang buta dalam hal-hal nasab, kematian, milik mutlah, dan hal
lainnya yang dilihatnya secara benar sebelum menjadi buta.
Imam Malik dan Imam Ahmad menyatakan
bahwa orang buta boleh menjadi saksi hanya dalam hal pernikahan, perceraian,
jual beli, sewa menyewa, wakaf, dan semisalnya yang bersifat kebendaan
(perdata).
D.
PENGGUGAT DAN TERGUGAT
- Pengertian
Penggugat adalah orang yang
mengajukan tuntutan melalui pengadilan karena ada haknya yang diambil orang
lain atau karena adanya permasalahan dengan pihak lain yang dianggap merugikan
dirinya.
Tergugat adalah orang yang dituntut
mengembalikan hak-hak orang lain yang telah diambilnya/dirugikan akibat
perbuatannya, atau orang yang dituntut untuk mempertanggungjawabkan kesalahan
atas dakwaan pihak lain di pengadilan.
2. Syarat-syarat
gugatan
a. Gugatan
disampaikan secara tertulis yang ditujukan ke pengadilan dan ditandatangani
oleh penggugat.
b. Gugatan harus
diuraikan dengan jelas dan rinci (permasalahan dan alasan)
c. Tutntutan harus
sesuai dengan kejadian perkara
d. Memenuhi
persyaratan khusus yang dibuat oleh pengadilan
e. Pihak tergugat
jelas orangnya
f.
Penggugat dan tergugat sama-sama mukallaf, balig dan
berakal
g. Penggugat dan
tergugat tidak dalam keadaan berperang membela agama.
- ALAT BUKTI (BAYYINAH)
Macam-macam alat bukti :
1. Saksi
2. Barang bukti
3. Pengakuan
terdakwa
4. Sumpah
- Sumpah ada dua macam :
a. Sumpah untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
b. Sumpah untuk
memberikan keterangan guna menguatkan bahwa sesuatu itu benar-benar demikian
atau tidak demikian.
- Syarat-syarat orang yang bersumpah
:
a. Mukallaf
b. Atas kehendak sendiri
c. Sengaja mengucapkan sumpah
d. Harus dengan nama Allah (wallahi,
tallahi, billahi)
- Orang yang melanggar
sumpah (bersumpah palsu) dikenakan sanksi/denda (QS. Al-Maidah ayat 89) :
a. Memberi makan kepada 10 orang
miskin
b. Memberi pakaian kepada 10 orang
miskin
c. Memerdekakan budak
d. Mengerjakan puasa selama tiga
hari
5. Keyakinan atau
pengetahuan hakim
F.
PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
1. Dasar
Hukum Peradilan Agama di Indonesia
Peradilan Agama di Indonesia
didasarkan pada Undang-undang Peradilan Agama (UUPA) No. 7 tahun 1989, yang
sebelumnya diatur dalam UU no. 14 tahun 1970.
Khusus dalam masalah perkawinan,
Peradilan Agama di Indonesia mengacu pada Undang-undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan.
2. fungsi
Peradilan Agama
UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan menegeaskan bahwa tugas Peradilan agama adalah menyelesaikan
perkara-perkara antara lain sebagai berikut :
a. Izin poligami
b. Dispensasi nikah
dibawah umur
c. Pencegahan
perkawinan
d. Pembatalan
perkawinan
e. Kelalaian
kewajiban suami istri
f.
Cerai talah oleh suami
g. Cerai gugat
oleh istri
h. Penolakan
perkawinan oleh PPN
i.
Hadhanah
j.
Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
k. Sah / tidaknya
anak
l.
Pencabutan kekuasaan orang tua sebagai wali
m. Pencabutan
penggantian wali
n. Penetapan
asal-usul anak
o. Harta warisan
p. Wakaf
q. Shadaqah
r. Hibah
BAB IV
HUKUM KELUARGA
- PERNIKAHAN
1. Pengertian
Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. hokum
Pernikahan
a. Sunnah
Sunnah adalah merupakan hokum dasar
pernikahan.
b. Mubah
Bagi orang yang tidak memiliki
factor yang pendorong atau factor yang melarang, maka nikah hukumnya boleh
c. Wajib
Bagi orang yang sudah mampu lahir
batin dan mampu menghidupi keluarga serta khawatir tidak mampu mengendalikan
nafsunya, maka menikah hukumnya wajib
d. Makruh
Bagi orang yang secara fisik sudah
matang dan dewasa tetapi tidak mempunyai biaya hidup untuk berumah tangga, maka
hukumnya makruh.
e. Haram
Bagi orang yang menikah dengan
tujuan mempermainkan dan menyakiti wanita, maka hukumnya haram.
3. Khitbah
(lamaran)
Khitbah adalah pernyataan atau
ajakan untuk menikah dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau
sebaliknya dengan cara yang baik.
Hokum dasar meminang adalah mubah.
Beberapa ketentuan dalam khitbah,
antara lain :
a. Syarat
perempuan yang akan dipinang :
1) tidak terikat
oleh akad pernikahan
2) tidak dalam
masa iddah talak raj’iy
3) tidak dalam
pinangan laki-laki lain.
b. Cara mengajukan
pinangan
1) pinangan kepada
gadis, boleh dilakuakn secara terang-trangan
2) pinangan kepada
janda yang telah habis iddahnya, boleh dilakukan secara terang-terangan
3) pinangan kepada
janda yang ditinggal wafat suaminya dan masih dalam masa iddah, tidak boleh
dinyatakan secara terang-terangan.
4. Mahram nikah
Mahram nikah adalah perempuan yang
haram untuk dinikahi, baik karena factor keturunan, persusuan, maupun
perkawinan. (QS. An-Nisa : 22-23)
a. Mahram karena
factor keturunan, yaitu :
1) Ibu dan ayah
2) Nenek dan kakek
terus keatas
3) Anak dan terus
ke bawah
4) Saudara
sekandung, seayah, dan seibu
5) Saudara dari
ayah
6) Saudara dari
ibu
7) Anak dari
saudara sekandung, seayah maupun seibu dan terus kebawah
b. Mahram karena
factor persusuan, yaitu :
1) Ibu yang
menyusui
2) Saudara
sepersusuan
c. Mahram karena
factor perkawinan, yaitu :
1) Mertua
2) Anak tiri jika
ibunya sudah digauli
3) Menantu
4) Ibu tiri
5. Rukun dan
syarat nikah
Rukun nikah yaitu :
a. Calon suami,
dengan syarat :
1) Muslim
2) Medeka
3) Berakal
4) Benar laki-laki
5) Adil
6) Tidak beristri
empat
7) Bukan mahram
8) Tidak sedang
ihram atau umrah
b. Calon istri
dengan syarat :
1) Muslimah
2) Benar perempuan
3) Mendapat izin
dari walinya
4) Tidak bersuami
atau dalam masa iddah
5) Bukan mahram
6) Tidak sedang
ihram atau umrah
c. Shigat (ijab
dan qabul), dengan syarat :
1) Menggunakan
lafaz nikah atau tajwiz
2) Tidak
dita’likkan (dikaitkan) dengan sesuatu yang lain
3) Harus terjadi
pada satu majlis
d. Wali calon
perempuan, dengan syarat :
1) Muslim
2) Balig
3) Berakal
4) Tidak fasik
5) Laki-laki
6) Mempunyai hak
menjadi wali
e. Dua orang
saksi, dengan syarat :
1) Muslim
2) Balig
3) Berakal
4) Merdeka
5) Laki-laki
6) Adil
7) Sempurna
pendengaran dan penglihatan
8) Memahami lafaz
ijab qabul
9) Tidak sedang
ihram atau umrah
6. Pernikahan
Terlarang
a. Nikah Mut’ah,
yaitu nikah yang diniatkan hanya untuk bersenang-senang dan hanya untuk jangka
waktu tertentu.
b. Nikah Syighar,
yaitu pernikahan yang didasarkan kepada janji atau kesepakatan pertukaran jasa.
c. Nikah Muhallil,
yaitu pernikahan yang dilakukan seseorang dengan tujuan untuk menghalalkan
istrinya kembali dinikahi oleh mantan suaminya yang telah mentalak tiga (ba’in
kubra).
d. Pernikahan
silang, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh orang muslim dengan orang kafir
e. Pernikahan
Khadan, yaitu menjadikan seorang perempuan atau laki-laki sebagai gundik atau
piaraannya.
7. Hikmah
pernikahan
a. Terwujudnya
kehidupan yang tenang dan tenteram
b. Terhindar dari
perbuatan maksiat
c. Melahirkan
keturunan yang baik
d. Menjaga
kelangsungan hidup manusia sesuai dengan ajaran agama
e. Melahirkan
sikap tanggung jawab terhadap keluarganya
f.
Memperluas persaudaraan
g. Mendatangkan keberkahan
- WALI, SAKSI, IJAB QABUL, DAN WALIMAH
1. Wali Nikah
a. Pengertian
Wali nikah adalah orang yang berhak
menikahkan perempuan dengan laki-laki sesuai dengan syari’at Islam.
Syarat-syarat saksi adalah :
laki-laki, muslim, balig, berakal, tidak fasik, dan mempunyai hak menjadi wali
nikah.
b. Tingkatan wali
1. Ayah kandung
2. Kakek dari
ayah, dan terus keatas
3. Saudara
laki-laki sekandung
4. Saudara
laki-laki seayah
5. Aanak laki-laki
dari saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki
dari saudara laki-laki seayah
7. Paman sekandung
8. Paman seayah
9. Anak lak-laki
dari paman sekandung
10. Anak laki-laki
dari paman seayah
11. Wali Hakim
c. Macam-macam
wali nikah
1) Wali Mujbir,
yaitu wali yang mempunyai hak untuk menikahkan orang yang berada dibawah
perwaliannya tanpa meminta izin dan menanyakan pendapatnya, dengan syarat :
a) Tidak terjadi
permusuhan antara ayah dan anak
b) Dikawinkan
dengan orang yang setara (kufu’)
c) Mahar tidak
kurang dari mahar misil
d) Dinikahkan
dengan orang yang mampu memberikan mahar dan biaya hidup
e) Dinikahkan
dengan orang yang mempunyai etika baik
2) Wali Hakim,
yaitu seseorang yang diangkat oleh pemerintah yang bertugas sebagai pencatat
pernikahan berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Wali hakim dapat mengambil alih hak
perwalian wali nasab jika :
a) Terjadi
pertentanga diantara para wali
b) Tidak ada wali
nasab, baik karena meninggal, hilang, atau ghaib.
3) Wali Adhal,
yaitu wali yang menolak untuk menikahkan perempuan yang berada dibawah
perwaliannya.
2. Saksi
Pernikahan
Saksi pernikahan adalah orang yang
menyaksikan dengan sadar pelaksanaan ijab qabul dalam pernikahan.
Jumlah saksi dalam pernikahan
minimal 2 (dua) orang laki-laki.
Syarat-syarat saksi adalah :
1) laki-laki
2) balig
3) berakal
4) merdeka
5) adil
6) sempurna
pendengaran dan penglihatan
7) memahami lafaz
ijab qabul
8) tidak sedang
ihram dan umrah.
3. Ijab dan Qabul
Ijab qabul adalah ucapan penyerahan
yang dilakukan oleh wali mempelai perempuan dan penerimaan oleh mempelai
laki-laki.
4. Walimah
Walimah nikah adalah pesta yang
diselelnggarakan setelah dilaksanakannya akad nikah dengan menghidangkan berbagai
jamuan yang biasanya disesuaikan dengan adat setempat, dengan tujuan pernyataan
pemberitahuan kepada kerabat, sanak famili, dan handai tolan tentang telah
resminya sebagai suami istri, sehingga terhindar dari fitnah.
Walimah hukumnya sunnah muakkadah.
C. HAK DAN
KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
1.
Kewajiban Suami (hak istri) adalah :
a. Membayar mahar
b. Memberikan
nafkah secara ma’ruf (sandang, pangan dan papan)
c. Menggauli istri
secara ma’ruf
d. Memimpin
keluarga dengan baik
e. Mendidik dan
membimbing seluruh anggota keluarga dengan baik
f.
Adil dan bijaksana
2.
Kewajiban Istri (hak suami) adalah :
a. Mentaati
perintah suami
b. Menjaga
kehormatan keluarga
c. Menjaga harta
suami
d. Mengatur rumah
tangga
e. Mendidik anak
dengan baik
- THALAK / PERCERAIAN
1. Pengertian dan
Hukum Thalak
Thalak artinya melepaskan ikatan,
yaitu lepasnya ikatan pernikahan dengan ucapan talak atau lafal lain yang
maksudnya sama dengan talak.
Ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah
berpendapat bahwa thalak hukum asalnya adalah makruh. Sedangkan Ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa hokum dasar thalak adalah haram.
2. Rukun dan
Syarat Thalak
Rukun Thalak ada 4, yaitu :
a. Suami, dengan
syarat suami dalam keadaan berakal, balig, dan atas kemauan sendiri.
b. Istri, dengan
syarat istri masih sah dalam ikatan suami istri, atau istri dalam masa iddah
thalak ra’iy/ba’in sughra.
c. Sighat Thalak
d. Sengaja
3. Macam-macam
Thalak
a. Thalak ditinjau
dari segi jumlah;
1) Thalak satu,
yaitu thalak yang pertama kali dijatuhkan oleh suami dengan thalak satu.
2) Thalak dua,
yaitu thalak kedua yang dijatuhkan suami, atau suami menjatuhkan thalak dua
sekaligus.
3) Thalak tiga,
yaitu thalak ketiga yang dijatuhkan suami, atau suami menjatuhkan thalak tiga
sekaligus.
b. Thalak ditinjau
dari segi boleh tidaknya mantan suami untuk rujuk;
1) Thalak Raj’iy,
yaitu thalak satu atau thalak dua yang dapat dirujuk kembali oleh mantan
suminya selama masa iddahnya.
2) Thalak ba’in
sughra, yaitu thalak satu atau thalak dua yang telah habis masa iddahnya, dan
suami tidak dapat merujuk mantan istrinya kecuali dengan nikah baru.
3) Thalak ba’in
kubra, yaitu thalak tiga yang mengakibatkan mantan suami tidak dapat merujuk
mantan istrinya, kecuali mantan istrinya telah menikah dengan laki-laki lain
dan telah digauli serta telah diceraikan oleh suami keduanya.
c. Thalak ditinjau
dari segi keadaan istri;
1) Thalak sunny,
yaitu suami yang mentalak istri yang pernah dicampurinya dalam keadaan suci (belum
dicampuri) atau sedang dalam keadaan hamil.
2) Thalak bid’iy,
yaitu suami yang menthalak istri yang pernah dicampurinya dalam keadaan haid
atau suci yang sudah dicampuri.
3) Thalak la sunny
wa la bid’iy, yaitu suami yang menthalak istrinya yang belum pernah dicampuri
atau belum pernah haid atau sudah menophouse.
4. Pengertian
Khuluk dan Fasakh
Khuluk adalah thalak yang dijatuhkan
suami karena memenuhi permintaan istrinya dengan cara si istri membayar uang
tebusan, baik berupa pengembalian maskawin maupun harta lainnya sesuai
kesepakatan kedua belah pihak. Status thalaknya sama seperti thalak ba’in
sughra.
Fasakh adalah jatuhnya thalak oleh
putusan hakim atas dasar pengaduan istri, sementara suami tidak mau menjatuhkan
thalak tersebut.
Fasakh diperbolehkan jika; terdapat
cacat pada salah satu pihak, suami tidak mau memberikan nafkah, mengumpulkan
dua saudara sebagai istri, adanya penganiayaan berat pada fisik, suami murtad,
atau hilang.
5. Pengertian
Iddah dan Macam-macamnya
Iddah adalah masa menunggu bagi
istri yang dicerai oleh suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati.
Masa iddah istri yang diceari oleh
suaminya adalah :
a. 4 bulan 10
hari, bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya (baik sudah dicampuri, belum
dicampuri, belum pernah haid, masih haid, maupun sudah menophouse). (QS.
Al-Baqarah : 234)
b. Sampai
melahirkan, bagi istri yang dalam keadaan hamil, baik cerai hidup maupun cerai
mati. (QS. At-Thalaq : 4)
c. 3 kali
suci/haid, bagi istri yang dalam keadaan masih haid. (QS. Al-Baqarah : 228)
d. 3 bulan, bagi
istri yang belum pernah haid atau sudah menophouse. (QS. At-Thalaq : 4)
e. Tidak ada
iddah, bagi istri yang belum pernah dicampuri. (QS. Al-Ahzab : 49)
6. Kewajiban
Mantan Suami dan Istri selama masa Iddah
a. Kewajiban
mantan suami selama masa iddah istri :
1) Memberikan
nafkah belanja dan tempat tinggal bagi mantan istri yang ditalak raj’iy.
2) Memberikan
nafkah belanja dan tempat tinggal bagi mantan istri yang ditalak ba’in dalam
keadaan hamil.
3) Memberikan
tempat tinggal saja bagi mantan istri yang ditalak ba’in.
b. Kewajiban
mantan istri selama masa iddah :
1) Tinggal di
rumah yang disediakan oleh mantan suaminya selama masa iddahnya.
2) Menjaga dirinya
dari perbuatan maksiat.
3) Tidak boleh
menerima pinangan dari laki-laki lain.
E. RUJUK
1. Pengertian
Rujuk
Rujuk adalah mengembalikan ikatan
dan hokum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’iy, yang dilakukan
oleh mantan suami terhadap mantan istrinya dalam masa iddah.
Hukum dasar rujuk adalah boleh
(mubah).
2. Rukun dan
Syarat Rujuk
a. Istri, dengan
syarat; sudah dicampuri, dan talak raj’iy.
b. Suami, dengan
syarat; balig, sehat akalnya, atas kemauan sendiri.
c. Sighat rujuk,
baik dengan ucapan yang sharih maupun dengan sindiran.
d. 2 orang saksi
laiki-laki.
BAB V
SIYASAH SYAR’IYYAH
A. KHILAFAH
1. Pengertian
Secara bahasa khilafah berarti
pengganti, duta, atau wakil. Sedangkan menurut istilah Khilafah adalah struktur
pemerintahan yang diatur menurut syari’at Islam.
Sementara Khalifah adalah pengganti
Rasulallah saw sebagai kepala Negara dan pemimpin agama, tetapi tidak
menggantikan kedudukan sebagai nabi dan rasul.
2. Tujuan Khilafah
a. Melanjutkan
kepemimpinan agama Islam setelah Nabi Muhammad saw wafat.
b. Memelihara
keamanan dan ketahanan agama dan Negara.
c. Mengupayakan
kesejahteraan lahir dan batin dalam rangka memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
d. Mewujudkan
dasar-dasar khilafah yang adil dalam seluruh aspek kehidupan umat Islam.
3. Dasar-dasar
Khilafah
a. Pen-tauhid-an
Allah swt.
b. Persamaan
derajat sesame umat manusia.
c. Menggalang
persatuan dan kesatuan dalam Islam.
d. Musyawarah atau
kedaulatan rakyat.
e. Keadilan dan
kesejahteraan bagi seluruh umat.
4. Syarat-syarat
Khalifah
a. Beragama Islam
b. Memiliki
pengetahuan yang luas
c. Sempurna
anggota tubuhnya
d. Cakap dan bijak
dalam berbicara
e. Cinta akan
kebenaran
f.
Sanggup menegakkan keadilan
g. Mampu di dalam
penghidupannya.
B. MAJLIS SYURA
DAN AHLUL HALLI WAL AQDI
1. Pengertian
Majlis syuro adalah badan atau
lembaga tempat bermusyawarah para wakil rakyat dan orang-orang yang berilmu
Ahlul halli wal aqdi adalah para
wakil rakyat yang mnjadi anggota majlis syuro.
2. Syarat-syarat
menjadi anggota majlis syuro
a. Bertakwa kepada
Allah swt.
b. Memiliki
kepribadian yang jujur, adil dan penuh tanggungjwab
c. Memiliki ilmu
pengetahuan yang luas sesuai dengan bidang keahliannya
d. Memiliki
keberanian untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan
e. Teguh pendirian
f.
Peka dan peduli terhadap kepentingan rakyat
g. Berjiwa ikhlas,
dinamis, dan kreatif
h. Dipilih oleh
rakyat sesuai dengan asas demokrasi.
3. Hak dan
Kewajiban Majlis Syuro
a. Hak-hak anggota
Majlis Syuro;
1) Memperoleh
fasilitas yang sesuai dengan kedudukannya sebagai anggota majlis syuro.
2) Memperoleh
jaminan keamanan dari Negara
3) Memperoleh jasa
penghidupan yang layak sebagai anggota majlis syuro.
b. Kewajiban-kewajiban
anggota Majlis Syuro;
1) Mengangkat dan
memberhentikan khalifah (kepala Negara)
2) Membuat
undang-undang bersama dengan khalifah
3) Menetapkan
APBN.
4) Mengawasi
jalannya pemerintahan
5) Merumuskan
gagasan yang dapat mempercepat tercapainya tujuan Negara
6) Menetapkan
garis-garis program yang akan dilaksanakan oleh khalifah
7) Menghadiri
siding-sidang yang dilaksanakan majlis syura.
BAB VI
SUMBER HUKUM ISLAM
A. SUMBER HUKUM
ISLAM YANG DISEPAKATI ULAMA
- Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah swt
yang diturunkan kepada abi Muhammad saw yang mengandung nilai mukjizat yang
ditulis dalam mushaf dengan jalan mutawatir dan membacanya dinilai sebagai
ibadah.
Al-Qur’an berisikan tentang; tauhid,
ibadah, akhlak, janji dan ancaman, serta kisah-kisah umat terdahulu.
Dalam penetapan hukumnya, Al-Qur’an
bersifat : tidak memberatkan (‘adam al-haraj), menyedikitkan beban (qillatu
al-takliif), dan berangsur-angsur dalam menetapkan hokum (al-tadriij fi
al-tasyri’)
Al-Qur’an merupakan sumber hokum
Islam yang pertama.
- As-Sunnah
As-Sunnah adalah segala sesuatu yang
diperhatikan, dilarang atau dianjurkan oleh Rasulallah saw baik berupa
perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.
As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
berfungsi untuk : memperjelas dan merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat
global (tafsir/tabyin), memperkuat ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
dalam Al-Qur’an (taqrir), dan membawa hokum yang tidak ditentukan oleh
Al-Qur’an (tasyri’).
- Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para
mujtahid umat Muhammad saw stelah beliau wafat, pada suatu masa tertentu dan
tentang masalah tertentu, baik dilakukan secara ucapan (qauli), perbuatan
(fi’li), maupun secara diam-diam (sukuti).
- Qiyas
Qiyas adalah menetapkan hokum
sesuatu yang belum ada ketentuan hukumnya dalam nas (Al-Qur’an atau hadis)
dengan mempersamakan sesuatu yang telah ada status hukumnya dalam nash.
B. SUMBER HUKUM
ISLAM YANG TIDAK DISEPAKATI ULAMA
1. Istihsan
Istihsan adalah berpindahnya seorang
mujtahid dari hokum kulli (umum) kepada hokum yang bersifat khusus dan
istisna’iy (pengecualian) karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan
tersebut.
Golongan Hanafiyah membolehkan
berhujjah dengan istihsan, sedangkan Jumhur Ulama menolak berhujjah dengan
istihsan.
2. Istishab
Istishab adalah mengambil hokum yang
telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa
selanjutnya sebelum ada hokum yang merubahnya.
Ulama Hanafiyah menolak berhujjah
dengan menggunakan istishab, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hambaliyah dan
Malikiyah membolehkan berhujjah dengan istishab selama belum ada hukumnya dalam
nash dan ijma’
3. Maslahah
al-mursalah
Maslahah al-Mursalah adalah
menetapkan suatu hokum dengan mendasarkan pada asas manfaat bagi manusia dan
menolak madharat terhadap manusia, dikarenakan belum adanya ketentuan hokum
yang pasti dalam nash.
Imam Malik secara tegas membolehkan
berhujjah dengan menggunakan maslahah al-mursalah, sementara ulama lainnya ada
yang menolak dan ada pula yang menerima dengan beberapa syarat.
4. Al-‘Urf
Al-‘Urf adalah segala sesuatu yang
sudah dikenal dan dijalankan oleh komunitas masyarakat secara turun temurun dan
sudah menjadi adat istiadat.
5. Syar’u man
qablana
Syar’u man qablana adalah syari’at
yang diturunkan kepada umat sebelum datangnya ajaran Islam.
Terdapat 3 (tiga) bentuk hukum
syar’u man qablana, yaitu;
- Apa yang
disyari’atkan kepada umat terdahulu juga ditetapkan kepada umat Islam, seperti
perintah puasa.
- Apa yang
disyari’atkan kepada umat terdahulu, tidak disyari’atkan kembali terhadap umat
Islam. Seperti; penebusan dosa dengan cara bunuh diri.
- Apa yang disyari’atkan
kepada umat terdahulu, tidak dinyatakan secara tegas terhadap umat Islam untuk
diikuti atau tidak diikuti.
6. Saddu
al-dzari’ah
Saddu al-dzari’ah adalah larangan
terhadap masalah-masalah yang secara lahirnya dipoerbolehkan, dikarenakan dapat
membuka jalan pada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.
Imam Malik membolehkan berhujjah
dengan menggunakan Syaddu al-dzari’ah, sedangkan Imam Abu hanifah dan Imam
Syafi’iy secara tegas menolak berhujjah dengan menggunakan syaddu al-dzari’ah.
7. Mazhab Shahabi
Mazhab shahabi adalah fatwa-fatwa
para sahabat tentang berbagai masalah yang dinyatakan setelah wafatnya
Rasulallah saw.
8. Dalalah
al-Iqtiran
Dalalatu al-iqtiran adalah
dalil-dalil yang menunjukkan kesamaan hokum terhadap sesuatu yang disebutkan
bersamaan dengan sesuatu yang lain.
C. IJTIHAD DALAM
HUKUM ISLAM
1. Pengertian,
Hukum dan Peranan Ijtihad
Ijtihad adalah mencurahkan seluruh
kemampuan oleh seorang mujtahid untuk menetapkan hokum syara’ dengan jalan
istinbath dengan menggunakan dalil-dalil yang terperinci dari kitab dan sunnah.
2. Syarat-syarat
menjadi mujtahid
a. Beriman, Balig,
dan berakal sehat.
b. Memahami
ayat-ayat ahkam.
c. Memahami sunah
yang berkaitan dengan hokum.
d. Mengetahui
maksud dan rahasia hokum Islam
e. Memahami
kaidah-kaidah ushuliyyah
f.
Memahami kaidah-kaidah bahasa arab
g. Memahami
penetapan hokum asal berdasarkan bara’atul ashliyyah.
3. Tingkatan
mujtahid
a. Mujtahid
Muthlaq (Mutsaqil), yaitu seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan
ijtihad secara sempurna dengan tidak terikat pada mazhab-mazhab yang telah ada.
b. Mujtahid
Muntasib, yaitu seorang mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara
sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihadnya masih tetap mengikuti jalan ijtihad
salah satu mazhab yang telah ada.
c. Mujtahid fi
al-mazahib, yaitu seorang mujtahid yang dalam ijtihadnya selalu mengikuti
kaidah-kaidah yang digunakan oleh imam mazhab tertentu.
d. Mujtahid
Murajjih, yaitu seorang mujtahid yang melakukan penetapan hokum suatu masalah
berdasarkan pada hasil tarjih diantara pendapat para imam mazhab yang telah ada.
BAB VII
HUKUM SYAR’I
- HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH’I
1. Pengertian
- Hokum taklifi adalah
hokum yang menghendaki dikerjakan oleh seorang mukallaf, larangan mengerjakan,
atau memilih antara mengerjakan dan meninggalkannya.
- Hokum wadh’iy adalah
hokum yang menghendaki adanya sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang
lain.
2. Macam-macam
Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’iy
- Hukum Taklifi
ada 5 (lima)
macam, yaitu :
a. Wajib, yaitu
dilaksanakan mendapat pahala dan ditinggalkan mendapat dosa.
b. Sunnah, yaitu
dilaksanakan mendapat pahala dan ditinggalkan tidak berdosa
c. Haram, yaitu
ditinggalkan mendapat pahala dan dilaksanakan mendapat dosa.
d. Makruh, yaitu
ditinggalkan mendapat pahala dan dikerjakan tidak berdosa tetapi dibenci.
e. Mubah, yaitu
diperbolehkannya seorang mukallaf untuk memilih antara melaksanakan atau
meninggalkannya.
- Hukum Wadh’iy
ada 5 (lima)
macam, yaitu :
a. Sebab, yaitu
sesuatu yang oleh syara’ dijadikan indikasi adanya sesuatu yang lain yang
menjadi akibatnya.
b. Syarat, yaitu
ada atau tidak adanya suatu hukum bergantung kepada ada atau tidak adanya
sesuatu yang lain.
c. Mani’, yaitu
adanya sesuatu dapat menyebabkan tidak adanya hukum.
d. Rukshah dan
‘azimah.
- Rukhsah adalah
keringan hokum yang telah disyari’atkan oleh Allah swt kepada mukallaf dalam
keadaan tertentu.
- ‘Azimah adalah
hokum-hukum umum yang sejak awal telah disyari’atkan oleh Allah swt dan tidak
dikhususkan pada kondisi atau mukallaf tertentu.
e. Benar dan batal
Yaitu perbuatan mukallaf yang
dituntut oleh syara’ baik berupa sebab maupun syarat, jika sudah
dilaksanakannya, syar’iy mungkin memberikan hukum benar atau batal.
B. UNSUR-UNSUR
HUKUM SYAR’I
1. Al-Hakim
Yang dimaksud dengan al-Hakim dalam
kajian ushul fiqh ini adalah yang menentukan, membuat hukum syara’ dan yang
menjadi sumber pembuat hukum-hukum sayari’at bagi semua perbuatan mukallaf yaitu Allah swt. Dalam menetapkan atau
membuat hukum-hukum syara’ tersebut adakalanya melalui al-Qur’an dan Sunnah
Rasul dan adakalnya melalui perantaraan para ulama fuqaha yang mampu melakukan
ijtihad secara baik.
2. Al-Hukmu
Al-Hukmu adalah ketentuan Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan melakukan atau
meninggalkan, atau pilihan atau berupa ketentuan.
Dari pengertian tersebut dapat
diambil pemahaman sebagai berikut;
- Para ahli ushul fiqh menyatakan bahwa Khitab Allah yang berhubungan dengan selain perbuatan mukallaf dianggap bukan hukum syara’. Seperti Khitab Allah yang berkaitan dengan zat atau sifat Allah.
- Para ahli ushul fiqh berpendapat bahwa hukum adalah Khitab Allah atau an-Nushush as-Syar’iyyah itu sendiri. Sementara para ahli fikih berpendapat bahwa hukum adalah apa yang dikandung oleh Khitab Allah atau an-Nushush tersebut.
Seperti : Firman Allah dalm QS.
Al-Isra ayat 32; ولا
تقربوا الـزنى
Menurut ulama ushul fiqh bahwa ayat
itu adalah hukum, sementara menurut ulama fikih bahwa yang hukum itu adalah
keharaman zina yang diinformasikan oleh ayat tersebut.
3. Mahkum Fihi
Mahkum fih adalah perbuatan mukallaf
yang berhubungan dengan hukum syar’iy. Seperti; Shalat, puasa, dan zakat.
4. Mahkum Alaihi
Mahkum ‘alaih adalah seorang
mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’. Seperti; orang yang
sedang mendirikan shalat.
5. Awaridh
al-Ahliyah
Yaitu penghalang keahlian seseorang
untuk melaksanakan ketentuan syar’iy, sehingga seseorang tidak dapat
mengerjakan ketentuan atau memperoleh keringanan.
Penghalang-penghalang yang
dibenarkan oleh syara’ adalah :
- Penghalang yang dapat menghalangi sama sekali keahlian seseorang. Seperti; gila, tidur, atau pingsan.
- Penghalang yang dapat mengurangi keahlian seseorang. Seperti; kurang akal.
- Penghalang yang tidak mempengaruhi keahlian seseorang, tidak menghilangkan dan tidak menguranginya, tetapi dapat merubah hukumnya. Seperti; tidak tahu atau lupa.
BAB VIII
KAIDAH-KADIAH USHUL FIKIH
A.
AMAR DAN NAHI
1. Pengertian ‘Amr
لفظ يطلب به الأعلى ممن هو أدنى منـه
فعــلا من غير كــف
‘Amr adalah
lafaz yang digunakan oleh orang yang lebih tinggi kepada orang yang lebih
rendah derajatnya untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat ditolak.
2. Bentuk-Bentuk
‘Amr
- Fi’il ‘amr, seperti : أقيموا الصلاة وآتوا الزكاة
- Fi’il mudhari diawali dengan lam ‘amr, seperti : ولتكـن منكم أمة يدعـون إلى الخير
- Isim fi’il ‘amr, seperti :ياأيها الذين آمنوا عليـكم أنـفســكم
- Masdar pengganti fi’il, seperti :وبـالـوالـدين إحســـانـا
- Jumlah khabariyah/kalimat berita, seperti :والمطلـقـات يتربصن بأنفسـهن ثلاثة قـروء
- Kata-kata yang mengandung makna perintah, seperti :أمـر- كتب – فـرض
3. Kaidah-kaidah
‘Amr, seperti :
- Kaidah pertama :
الأصل فى الأمـر للـوجــوب ولا تدل على
غيره إلا بقرينـة
Lafaz ‘amr dapat dimaksudkan bukan
wajib, antara sebagai berikut :
1) Nadb/sunnah/anjuran,
seperti :فكاتبوهم إن علمتم فيهـم
خـيرا
2) Irsyad/bimbingan/memberi
petunjuk, seperti :وأشـهدوا
إذا تبايعتم
3) Tahdid/ancaman/hardikan,
seperti :إعمـلوا ما شئتـم
4) Ibahah, seperti
: كلوا واشربوا من رزق
الله
5) Taskhir/menghina/merendahkan
derajat, seperti :كـونـوا
قردة خاشعـين
6) Ta’jiz/menunjukkan
kelemahan lawan bicara, seperti :فـأتوا بسورة من مثــله
7) Taswiyah/sama
antara dikerjaka atau tidak, seperti :فاصبروا أو لاتصبروا سواء عليكم
8) Takzib/mendustakan,
seperti :قل هاتوا برهانكم إن كنتم
صادقــين
9) Talhif/membuat
sedih, seperti :قل
مـوتـوا بـغيـظكم
10) Doa/permohonan,
seperti :ربنا آتنـا فى الدنيا
حسنــــة
- Kaidah kedua : الأمــر بعــد النــهي يفيـــد الإبـاحــة
- Kaidah ketiga :الأصــل فى الأمـــر لا يقتــضى الـفـــور
- Kaidah keempat :الأصل فى الأمـــر لا يقتـضى التــكــرار
- Kaidah kelima :الأمــر بالشــيئ أمـــر بـوســـائـله
4. Pengertian Nahi
النهي هو طلب التـرك من الأعـــلى إلى
الأدنــــى
Nahi adalah tuntutan meninggalkan
sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang
yang lebih rendah tingkatannya.
5. Bentuk-bentuk
nahi
- Fi’il mudhari’ yang diawali la nahiyah, seperti; لا تـفسـدوا فى الأرض
- Lafaz-lafaz yang bermakna haram atau perintah meninggalkan suatu perbuatan, seperti;وأحـــل الله البــــيع وحـــــــــــرم الــــــــــربـا
6. Kaidah-kaidah
Nahi
- Kaidah pertama :
الأصـــل فى النـهي للـتحــــريم
Shigat nahi selain menunjukkan
haram, juga menunjukkan beberapa maksud sesuai dengan qarinah yang
menunjukkannya, antara lain sebagai berikut :
1) Karahah,
seperti :ولا تصلوا فى أعطان
الإبـــل
2) Doa, seperti :ربنا لا تـؤاخـذنـا إن نسيـنـا أو
أخطـأنـا
3) Irsyad/memberi
petunjuk/bimbingan, seperti :ياأيهاالذين
آمنوا لاتسئلوا عن أشيا إن تبد لكم تـســؤكم
4) Tahqir/menghina,
seperti :لا تمدن عينيـك إلى
مامتـعنـا به أزواجا منهم
5) Bayan
al-‘aqibah, seperti :ولا
تحسبن الـذين قتـلوا فى سبيـل الله أمـــوتـا
6) Ta’yis/menunjukkan
putus asa, seperti :لا
تعـتــذروا اليـــوم
7) Tahdid, seperti
:لاتـــطع أمــــري
- Kaidah kedua :
النـهي بـالشيئ أمــــر بضـــده
Seperti; larangan menyekutukan Allah
berarti memerintahkan untuk mentauhidkan Allah swt.
- Kaidah ketiga :
الأصل فى النهي المطلق يقتضي التـكرار فى
جميع الأزمنـــة
Seperti; larangan melaksanakan
shalat selama dalam keadaan mabuk.
- Kaidah keempat :
الأصـل فى النهـي يقتـضى الفـســــــاد
مطــلـقـا
Seperti; setiap perkara yang
dilarang berarti tidak diperintahkan dan batal hukumnya.
B. ‘AM DAN KHASH
1. Pengertian ‘Am
اللـفظ المسـتـغـرق لجمـــيع ما يصـلح له
بحسب وضع واحـد دفــعـة
‘am adalah
lafaz yang mencakup semua bagian-bagian yang terkandung didalamnya.
2. Macam-macam lafal
‘Am
a. lafaz-lafaz
yang mengandung arti umum, seperti : كل, جميع,
كافـة, dan معـشر.
b. Lafaz yang
berbentuk isim syarat (ada jawaban/balasan), seperti lafaz : من, مـا, dan أيـن.
c. Lafaz yang
berbentuk isim istifham, seperti menggunakan lafaz : من, ما, dan أين.
d. Lafaz nakirah
yang diawali dengan naïf, seperti :واتقوا يوما لاتجزي نفس عن نفس شيئا
e. Lafaz yang
berbentuk isim maushul, seperti lafaz : الذى, الذين,
التي, اللآتـى.
f.
Lafaz أي
(kapan saja), seperti :أيــامـا
تـدعوا فـله الأسمــاء الحســنى
g. Lafaz yang
berbnetuk ta’rif idhafah (isim ma’rifah dengan cara idhafah, seperti :
3. Pengertian
Khash
الخاص هو ما لا يتنـاول دفـعة شيـئين
فـصاعــدا من غير حصــر
Khash adalah sesuatu yang tidak
mencapai sekaligus dua atau lebih tanpa batas.
Takhsish adalah mengeluarkan
sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak
terdapat mukhashish.
4. Pembagian
Mukhassish (dalil yang mengkhususkan)
a. Mukhashish
muttashil
Mukhashish muttashil adalah makna
suatu dalil yang berhubungan erat (bergantung) pada kalimat sebelumnya.
Mukhashish muttashil dibagi menjadi
5 (lima), yaitu :
1) Pengecualian
(istinsa’)
إن الإنسان لفي خسر
إلاالذين آمنوا وعملوا الصالحات .....
2) Syarat
وبعولتهن أحق بردهن فى ذلك
إن أرادوا إصلاحا ......
3) Sifat
ومن
قتل مؤمنا خطئا فتحرير رقبة مؤمنة ......
4) Kesudahan
..... ولا تقربوهن حتى يطهـرن .....
5) Sebagai ganti
keseluruhan
ولله
على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيـلا .....
b. Mukhashish
munfashil
Mukhashish munfasil adalah dalil
(makna dalil) yang umum dengan dalil (makna dalil) yang mengkhususkannya
masing-masing berdiri sendiri (terpisah).
Mukhashish munfasil ada 4 (empat)
macam, yaitu :
1) Kitab
ditakhsish dengan Kitab
Dalil umum;
والمطلقات
يتربصن بأنفسهن ثلاثة قروء ....
Ditakhsish dengan dalil khusus;
وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملـهن ....
2) Kitab
ditakhsish dengan sunnah
Dalil umum;
يوصيكم الله فى أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين ...
Ditakhsish dengan dalil khusus;
لايرث المسلم الكافر ولا الكافر المسـلم
3) Sunnah
ditakhsish dengan Kitab
Dalil umum;
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضـأ
Ditakhsish dengan dalil khusus;
وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أو لامستم
النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا
صعيدا طيـبـا ......
4) Sunnah
ditakhsish dengan sunnah
Dalil umum;
فيما سقت السمـاء العشـر
Ditakhsish dengan dalil khusus;
ليس
فيما دون خمسـة أوسق صدقـة
- MUTHLAQ DAN MUQAYYAD
1. Pengertian
Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah suatu lafal tertentu
yang tidak terikat oleh batasan lafal yang mengurangi keumumannya.
Contoh : فتحرير رقبة
lafal raqabah tersebut adalah mutlak.
Muqayyad adalah suatu lafal tertentu
yang dibatasi oleh batasan lafal lain yang mengurangi keumumannya.
Contoh : فتحرير رقبة مؤمنة lafal raqabah pada ayat tersebut
adalah muqayyad karena dibatasi oleh lafal mukminah.
2. Hukum lafal
Muthlaq dan Muqayyad
Selama tidak ada dalil yang
membatasinya, nash mutlak harus dipegang sesuai dengan kemutlakannya, demikian
sebaliknya nash muqayyad harus dipegang sesuai dengan kemuqayyadannya.
Jika dalam suatu nash, khitab
bersifat mutlak namun pada nash lain bersifat muqayyad, maka menurut para ulama
ada beberapa kemungkinan;
a.
Jika persoalan dan hokum dalam nash itu sama, serta
keadaan mutlak dan muqayyad terdapat pada hokum, maka harus berpegang pada yang
muqayyad.
b.
Jika persoalan dan hokum kedua nash itu sama serta
keadaaan mutlak dan muqayyad terdapat pada sebab hokum, maka harus berpegang
pada yang muqayyad.
c.
Jika persoalannya berbeda dan hukumnya sama, maka
menurut jumhur ulama Syafi’iyyah wajib berpegang pada muqayyad.
d.
Jika persoalan sama dan hokum berbeda, maka menurut
Jumhur Ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyah harus berpegang kepada muqayyad.
Sementara menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah harus berpegang pada
masing-masing lafal tersebut.
- MANTHUQ DAN MAFHUM
1. Pengertian
Manthuq dan Mafhum
المنطوق هو ما دل عليه اللفـظ فى محل
النـطق
“Manthuq adalah
Apa yang ditunjukkan oleh lafaz sama maksudnya dengan apa yang diucapkan.”
المفـهوم هو ما دل علـيه اللـفظ لا فى
محــل النـطـق
“Mafhum adalah apa yang ditunjukkan
oleh lafaz tidak sama maksudnya dengan apa yang diucapkan.”
2. Macam-macam
Manthuq
- Manthuq nas, yaitu lafaz yang diucapkan tidak mungkin ditakwilkan dengan makna lain.
- Manthuq zihar, yaitu lafaz yang memungkin dapat ditakwilkan kepada makna lainnya.
3. Macam-macam
Mafhum
a.
Mafhum muwafaqah, yaitu hokum yang tersirat sama dengan
yang tersurat, seperti; keharaman minuman keras disamakan dengan keharaman
khamr.
Mafhum muwafaqah ada 2 (dua), yaitu;
1)
Fahwal khithab, yaitu hokum tersirat lebih utama
daripada hokum tersurat.
Seperti; keharaman memukul orang tua
lebih utama daripada keharaman mengatakan “ah” kepada orang tua.
2)
Lahnul khithab, yaitu hokum tersirat sama dengan hokum
tersurat.
Seperti; keharaman membakar harta
anak yatim sama hukumnya dengan keharaman memakan harta anak yatim.
b.
Mafhum mukhalafah, yaitu yang tersirat berlainan
hukumnya dengan yang tersurat, baik dalam menetapkan maupun meniadakan hokum.
Mafhum mukhalafah terdiri dari;
1)
Mafhum sifat
2)
Mafhum syarat
3)
Mafhum ghayah
4)
Mafhum hasyr
5)
Mafhum laqab
4. Berhujjah
dengan Mafhum
Jumhur ulama membolehkan berhujjah
dengan mafhum mukhalafah dengan syarat;
a.
Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
b.
Yang tersurat tidak sebagai penguat keadaan
c.
Yang tersurat bukan sesuatu yang lumrah terjadi.
- MUJMAL DAN MUBAYYAN
1. Pengertian
Mujmal dan Mubayyan
المجمل هو اللفظ الذى لا يدل بصيـغته على
المـــراد
“Mujmal adalah lafaz yang sighatnya
tidak menunjukkan apa yang dimaksud.”
المبـين هو اللـفظ الـذى يـدل بصيـغتـه على
المــــراد
“Mubayyan adalah lafaz yang
sighatnya jelas menunjukkan apa yang dimaksud.”
2. Tingkatan Bayan
a.
Bayan dengan kata-kata “ بيان بالقول “
Seperti;فصيام ثلاثة أيام فى الحج وسبعة إذا رجعتم تلك عـشرة كامــلة
b.
Bayan dengan perbuatan “ بيان بالفـعـل “
Seperti;صـلوا كما رأيتمـــوني أصــلي
c.
Bayan dengan isyarat “
بيان بالإشــارة
“
Seperti;إن هـذين حــرام على ذكــور أمــتي
d.
Bayan dengan meninggalkan “ بيان بـالتـرك “
Seperti;كان آخر الأمرين منه صلى الله عليه وسلم
عدم الوضوء مما مست النـار
e.
Bayan dengan diam setelah ada pertanyaan “ بيان بالسكوت بعد السـؤال “
Seperti;قـد أنـزل فيك وفى صاحبـك قـرآن ولاعـن بينــهمـا
- MURADIF DAN MUSYTARAK
1.
Pengertian Muradif dan Musytarak
Muradif adalah : اللفظ المتعدد للمعنى الواحد
“ Beberapa lafaz yang menunjukkan satu arti “
Contohnya; lafaz “ الأسد“ dan lafaz “ الليث“ yang berarti
singa.
Musytarak adalah : اللفظ
الموضوع لحقيقتين مختلفين أو أكثر
“ Satu lafaz yang menunjukkan dua
arti atau lebih “
Contoh; lafaz “ القرء“ bisa berarti haid
dan suci; lafaz “ الجون“
bisa berarti hitam dan putih.
G. ZAHIR DAN
TAKWIL
Zahir adalah suatu lafaz yang jelas-jelas
menunjukkan kepada suatu arti yang sebenarnya tanpa memerlukan faktor lain di
luar lafaz tersebut.
Contohnya; وأحل الله البيع وحـرم الربا
Ayat tersebut secara zahir jelas
menunjukkan akan halalnya jual beli dan haramnya berbuat riba.
Takwil adalah mengalihkan lafaz dari makna
zahirnya kepada makna yang memungkinkan baginya berdasarkan dalil baik berupa
nas, ijma maupun qiyas.
Contohnya; lafaz “ يـد“ makna zahirnya adalah tangan, namun dapat dimungkinkan berarti
kekuasaan.
Syarat-syarat Takwil
- Takwil harus berdasarkan dalil syara’, baik berupa nas, ijma maupun qiyas
- Jika dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut harus qiyas jail dan bukan qiyas khafi
- Takwil harus sesuai dengan penggunaan bahasa dan kebiasaan syari’at.
H. NASIKH DAN
MANSUKH
Nasakh adalah : إبطال العمل بالحكم الشرعي بدليل متراخ عنه
“membatalkan
pengamalan suatu hukum syara’ dengan dalil yang dating kemudian”
Yang membatalkan disebut Nasikh
dan yang dibatalkan hukumnya disebut Mansukh.
Contohnya;
أن النبي صلى الله عليه وسلم قام يستقبل بيت
المقدس في الصلاة ستـة عشر شهرا ثم نسخ ذلك بطلب التـوجه إلى الكعـبـة
“Sesungguhnya Nabi saw berdiri
menghadap ke Baitul Maqdis dalam shalat selama enam belas bulan, kemudian
dinasakh dengan adanya tuntutan menghadap ke Ka’bah”.
Syarat-syarat Nasakh :
1.
Yang dinasakh adalah bukan hukum syara’ yang diwajibkan
karena zatnya, seperti iman, dan bukan hukum syara’ yang dilarang karena
zatnya, seperti kufur.
2.
Hukum yang dimansukh harus dating lebih dahulu daripada
nasikh, demikian juga nasikh harus dating kemudian daripada mansukh.
3.
Hukum yang mansukh tidak dibatasi oleh waktu tertentu.
BAB IX
USHUL DIQIH DAN SEJARAH
PERKEMBANGANNYA
A.
Pengertian Ushul Fiqh
Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah
kulli (umum) yang digunakan untuk mengistinbathkan hukum syara’ melalui
dalil-dalil yang terperinci.
B.
Objek Kajian Ushul Fiqh
Objek kajian Ushul Fiqh adalah
dalil-dalil syara’ yang masih bersifat kulli (umum).
C.
Tujuan Mempelajari Ushul Fiqh
Tujuan mempelajari Ushul Fiqh adalah
untuk mengetahui kaidah-kaidah yang bersifat kulli (umum) dan teori-teori yang
terkait dengannya untuk diterapkan pada dalil-dalil tafshili (terperinci)
sehingga dapat diistinbathkan hukum syara’ yang ditunjukkannya.
D.
Perbedaan antara Ushul Fiqh dan Fikih
Ushul Fiqh adalah ilmu yang
membicarakan tentang kaidah-kaidah umum yang digunakan dalam mengistinbathkan
hukum syara’ dengan dalil yang rinci, dan objeknya kajiannya adalah
kaidah-kaidah kulli.
Sedangkan Fikih adalah hukum-hukum
syara’ dari hasil ijtihad para ulama fuqaha dengan menggunakan metode istinbath
hukum, dan objek kajiannya adalah penerapan kaidah-kaidah yang umum tersebut
terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw.
E.
Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh
Ushul Fiqh sebagai metode istinbath
hukum dan sebagai salah satu bidang ilmu, baru tersusun pada abad ke-2 Hijriah.
Namun dalam prakteknya, para fuqaha mengakui bahwa Ushul Fiqh muncul
berbarengan dengan lahirnya Fikih yang perumusannya dilakukan pada periode
sahabat. Diantara para sahabat yang memiliki kemampuan dan sangat menguasai
Ushul Fiqh serta menggunakannya dalam metode istinbath hukum adalah Umar bin
Khaththab, Ibnu Mas’ud dan Ali bin Abi Thalib.
Pada periode Tabi’in (abad I dan II
H), penggunaan Ushul Fiqh sebagai metode istinbath hukum semakin menampakkan
eksistensinya seiring dengan semakin luasnya wilayah Islam yang berimplikasi
pada munculnya banyak permasalahan baru yang membutuhkan jawabannya. Diantara
tabi’in yang memiliki kemampuan berijtihad dengan menggunakan metode istinbath
hukum (ushul fiqh) adalah Said ibn al-Musayyab (15 H – 94 H) di Madinah,
Al-Qamah ibn Qays (w. 62 H) dan Ibrahim al-Nakha’iy (w. 96 H) di Irak.
Pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriah,
peranan Ushul Fiqh sebagai metode istinbath dalam berijtihad semakin eksis.
Perkembangan Ushul Fiqh sebagai ilmu pengetahuan mulai berlangsung pada masa
Khalifah Harun al-Rasyid (145 H – 193 H) dan Khalifah al-Ma’mun (170 H – 218 H)
yang ditandai dengan lahirnya tokoh Ushul
Fiqh yang bernama Muhammad bin Idris al-Syafi’iy (pendiri Mazhab Syafi’iy 150 H
– 204 H), beliau berhasil menyusun untuk pertama kalinya dalam sebuah buku yang
berjudul “al-Kitab” dan kemudian lebih dikenal dengan nama “al-Risalah”
(sepucuk surat). Kitab “al-Risalah” ini kemudian menjadi rujukan utama bagi
para ulama fuqaha yang muncul pada abad-abad berikutnya.
F.
Aliran-aliran Ushul Fiqh
Dalam sejarah perkembangannya,
terdapat 3 (tiga) aliran Ushul Fiqh, yaitu;
1.
Aliran Syafi’iyah (aliran Mutakallimin – ahli kalam).
Tokoh pertamanya adalah Imam Syafi’iy. Aliran ini dikenal juga dengan aliran
mutakallimin karena dalam metode pembahasannya didasarkan pada nazari,
falsafah, mantiq dan tidak terikat pada mazhab tertentu, selain itu juga karena
kebanyakan dari mereka adalah para ulama ahli kalam.
Dalam menyusun Ushul Fiqh, aliran
ini menetapkan kaidah-kaidah dengan dukungan alasan yang kuat baik dalil naqli
(al-Qur’an dan sunnah) maupun dalil akli (akal pikiran), dan tidak terikat pada
hukum furu’.
Kitab-kitab ushul fiqh populer yang
disusun mengikuti aliran Syafi’iyah ini antara lain;
a.
Al-Mu’tamad karya Abi Husain Muhammad bin Ali al-Bisri
al-Mu’tazili (w. 463 H)
b.
Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh karya Abi al-Ma’aly Abdul
Malik bin Abdillah al-Juwaini al-Naisaburi al-Syafi’iy (w. 487 H)
c.
Al-Mustashfa min ‘Ilmi Ushul karya Imam Abi Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Syafi’iy (w. 505 H)
d.
Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya Abu Hasan Ali bin Abi
Ali, dikenal dengan nama Saifuddin al-AMidi al-Syafi’iy (w. 631 H).
Aliran ini banyak dipakai oleh
kalangan Syafi’iyah dan Malikiyah.
2.
Aliran Hanafiyah
Aliran ini banyak memperoleh
dukungan dari Mazhab Hanafi. Dalam menyusun Ushul Fiqh-nya lebih banyak
mendasarkan pada masalah furu’iyah sebagai ciri khasnya dan untuk memperkuat
mazhabnya. Oleh sebab itu, semua kaidah-kaidah ushul fiqh yang disusunnya dapat
diterapkan karena sebelumnya terlebih dahulu disesuaikan dengan hukum furu’
yang terdapat dalam mazhab Hanafi.
Kitab-kitab Ushul Fiqh yang disusun
berdasarkan aliran Hanafiyah antara lain;
a.
Ushul karya Abi al-Hasan al-Karkhi (w.340 H)
b.
Ushul al-Jashshash karya Abi Bakar Ahmad Ali
al-Jashshash (w. 370 H)
c.
Ta’sis al-Nazhar karya Abi Zaid al-Dabbusi (w. 430 H)
d.
Tahmid al-Fushul fi al-Wushul karya Syamsu al-Aimah
Muhammad bin Ahmad al-Sarakhsi (w. 483 H)
e.
Al-Manar karya Hafiz al-Din al-Nasafi )w. 790 H)
3.
Aliran
Muta’akhirin
Aliran ini merupakan hasil gabungan
dari aliran Syafi’iyah dan aliran Hanafiyah. Oleh karena itu dalam menyusun
ushul fiqhnya, mereka hanya melakukan tahqiq terhadap kaidah-kaidah ushuliyah
yang telah dirumuskan oleh aliran Syafi’iyah dan Hanafiyah, kemudian meletakkan
dalil-dalil dan argumentasi untuk mendukung rumusannya serta menerapkannya pada
furu’ fiqhiyah. Aliran ini muncul setelah aliran Syafi’iyah dan Hanafiyah.
Kitab-kitab ushul fiqh yang disusun
berdasarkan aliran muta’akhirin antara lain;
a.
Jam’u al-Jawami’ karya Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali
as-Subki as-Syafi’iy (w. 771 H)
b.
At-Tahrir karya Kamal bin Hamam Kamaluddin Muhammad bin
Abdul Wahid al-Hanafi (w. 861 H)
c.
Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul karya
Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Syaukani (w. 1255 H)
d.
Ushul al-Fiqh karya Muhammad Khudhari Beik (w. 1345 H)
e.
Ilmu Ushul al-Fiqh karya Abdul Wahhab al-Khallaf (w.
1955 M)
f.
Ushul al-Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah (w. 1974 M)
BAB X
HUKUM WARIS DALAM ISLAM
B. DEFINISI
1. Pengertian
Ilmu waris adalah ilmu yang
mempelajari tentang ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan orang-orang yang
berhak menerima harta warisan, orang-orang yang tidak berhak menerima harta
warisan, bagian-bagian yang diterima oleh ahli waris, serta tata cara pembagian
harta warisan.
2.
Hukum Mempelajari dan Mengajarkan
Jumhur ulama sepakat bahwa
mempelajari dan mengajarkan ilmu waris hukumnya adalah fardhu kifayah
3.
Sebab-sebab Menerima Harta Warisan
a.
Hubungan Perkawinan (Mushaharah)
b.
Hubungan Nasab (Kekerabatan/al-Qarabah)
c.
Al-Wala (Memerdekakan budak)
4.
Sebab-sebab Terhalang Menerima Harta Warisan
a.
Pembunuhan.
b.
Perbedaan Agama
c.
Perbudakan.
5.
Hak-hak Yang Harus Ditunaikan Sebelum pembagian Harta
Warisan
a.
Biaya Penyelenggaraan Jenazah
b.
Pelunasan Hutang
c.
Pelaksanaan Wasiat
C.
FURUDHUL MUQADDARAH DAN MACAM-MACAM AHLI WARIS
1.
Furudhul Muqaddarah
Yaitu bagian-bagian ahli waris yang
besar kecilnya telah ditentukan di dalam Al-Quran, yakni; 1/2, 1/3, 1/4, 1/6,
1/8, dan 2/3
2.
Ahli Waris Nasabiyah
Yaitu ahli waris yang hubungan
kekerabatannya dengan al-muwarris dipertalikan melalui hubungan darah.
Mereka adalah : anak laki-laki, anak
perempuan, cucu laki-laki pancar laki-laki, cucu perempuan pancar laki-laki,
ayah, ibu, kakek, nenek, saudara laki-laki sekandung, saudara perempuan
sekandung, saudara laki-laki seayah, saudara perempuan seayah, saudara
laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, paman sekandung, paman
seayah, anak laki-laki dari paman sekandung, dan anak laki-laki dari paman
seayah.
3.
Ahli Waris Sababiyah
Yaitu ahli waris yang hubungan
kekerabatannya dengan al-muwarris dipertalikan melalui hubungan perkawinan dan
memerdekakan budak.
Mereka adalah suami dan istri, serta
mu’tiq dan mu’tiqah.
4.
Ahli Waris Ashabul Furudhul Muqaddarah
Yaitu ahli waris yang memperoleh
bagian yang telah ditentukan dalam al-Quran.
Mereka adalah :
a.
Anak perempuan (1/2, 2/3, Abg)
b.
Cucu perempuan pancar laki-laki (1/2, 2/3, 1/6, Abg)
c.
Ibu (1/3, 1/6)
d.
Ayah (Ashabah, 1/6)
e.
Nenek (1/6)
f.
Kakek (1/6)
g.
Saudara perempuan sekandung (1/2, 2/3, Abg, Amg)
h.
Saudara perempuan seayah (1/2, 2/3, 1/6, Abg, Amg)
i.
Saudara laki-laki/perempuan seibu (1/6, 1/3)
j.
Suami (1/2. 1/4)
k.
Istri (1/4, 1/8)
5.
Ahli Waris Ashabul Ashabah
Yaitu ahli waris yang memperoleh
bagian sisa.
Mereka adalah :
a.
Anak laki-laki
b.
Cucu laki-laki pancar laki-laki
c.
Ayah
d.
Saudara laki-laki sekandung
e.
Saudara laki-laki seayah
f.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
g.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
h.
Paman sekandung
i.
Paman seayah
j.
Anak laki-laki dari paman sekandung
k.
Anak laki-laki dari paman seayah
6.
Macam-macam Ashabah
a.
Ashabah bi nafsih, yaitu ahli waris laki-laki yang
karena kedudukan dirinya sendiri tanpa pengaruh orang lain memperoleh bagian
sisa. Seperti anak laki-laki dan cucu laki-laki pancar laki-laki.
b.
Ashabah bil ghair, yaitu ahli waris perempuan yang
memperoleh bagian sisa karena adanya ahli waris laki-laki yang setingkat
dengannya yang memperoleh bagian sisa.
Seperti; anak perempuan jika bersama
anak laki-laki.
c.
Ashabah ma’al ghair, yaitu ahli waris perempuan yang
memperoleh bagian sisa karena adanya ahli waris perempuan lain yang tidak
setingkat dengannya yang memperoleh bagian tertentu.
Seperti; saudara perempuan sekandung
jika bersama dengan anak perempuan.
7.
Ahli Waris Zawil Arham
Yaitu seluruh kerabat yang tidak
memperoleh bagian furudhul muqaddarah dan bagian ashabah.
Seperti; cucu laki-laki/perempuan
dari anak perempuan.
8.
Hijab, Hajib dan Mahjub
Hijab adalah keadaan terkuranginya bagian
seseorang atau terhalangnya seseorang untuk memperoleh bagian harta warisan
dikarenakan ada ahli waris lain yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan
al-muwarris.
Ahli waris yang mengurangi bagian
ahli waris lainnya atau menghalangi ahli waris lain dalam penerimaan bagian
warisan disebut Hajib, sedangkan ahli waris yang terkurangi bagiannya
atau terhalangi dalam penerimaan bagian warisan disebut Mahjub.
Terdapat 2 (dua) macam Hajib, yaitu;
Hajib Nuqshon dan Hajib Hirman.
Hajib Nuqshon adalah penghalang yang dapat
mengurangi bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris. Seperti; suami yang
semula memperoleh ½ bagian berkurang menjadi ¼ bagian jika ada anak atau cucu.
Hajib Hirman adalah penghalang yang menyebabkan
ahli waris tidak memperoleh bagian warisan. Seperti; cucu laki-laki pancar
laki-laki tidak memproleh bagian warisan selama ada anak laki-laki.
D.
CARA PERHITUNGAN PEMBAGIAN WARISAN
1.
Masalah ‘Adilah
‘Adilah berarti sesuai, maksudnya
adanya kesesuaian antara harta warisan yang akan dibagikan dengan total jumlah
bagian yang diterima oleh ahli waris.
2.
Masalah ‘Aul
‘Aul berarti bertambah atau
berlebih, maksudnya total jumlah bagian yang diterima oleh ahli waris melebihi
jumlah harta warisan yang akan dibagikan, sehingga terjadi kekurangan harta
warisan.
3.
Masalah Radd
Radd berarti mengembalikan, yaitu
mengembalikan sisa harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
Maksudnya adalah jumlah harta warisan yang disediakan lebih besar dari total
jumlah bagian yang diterima oleh ahli waris, sehingga terjadi kelebihan harta
warisan.
4.
Masalah Gharawain
Gharawain berasal dari kata “gharr”
yang bermakna menipu, maksudnya dalam ilmu waris adalah telah terjadi penipuan
terhadap bagian yang diterima oleh ibu, dimana ibu jika tidak ada anak atau
cucu berhak memperoleh bagian 1/3, namun kenyataannya pada masalah ini ibu
hanya memperoleh bagian ¼ dan bahkan hanya memperoleh 1/6 bagian saja. Masalah
ini terjadi apabila ahli warisnya terdiri dari; suami, ibu dan ayah atau istri,
ibu dan ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar